WahanaNews.co | Nama buzzer sudah tidak asing bagi mereka yang kerap main di dunia maya.
Buzzer dianggap pembentuk opini publik, menyebarkan sejumlah informasi yang sifatnya menggiring maupun hoaks secara masif sehingga seakan-akan semua terlihat organik.
Baca Juga:
Pembuktian Sulit, Mahfud Akui Kesulitan Tindak Buzzer
Gaduh Pemilihan Gubernur di daerah dan panasnya Pemilu Presiden 2014 yang diwarnai penyebaran informasi palsu (hoaks) dan polarisasi warga seakan jadi bukti besarnya pengaruh buzzer.
Fenomena buzzer di media sosial telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dengan noise (kondisi bising).
Hal ini juga yang dinilai menjadi peluang orang atau kelompok untuk meraup pundi-pundi uang dengan salah satunya menjadi buzzer.
Baca Juga:
Bamsoet: Humas Kementerian Jangan Kalah Gesit oleh Buzzer
Peran buzzer diyakini, sedikit atau banyak, berpengaruh kepada opini yang sengaja diciptakan.
Dan sudah menjadi rahasia umum, dalam persaingan politik saat ini, peran buzzer laris manis.
Sejumlah pegiat media sosial bahkan dengan terang-terangan mendapat bayaran besar ketika mereka menjadi buzzer demi kepentingan politik tertentu.
Lalu, banyak yang bertanya-tanya, berapa gaji buzzer dan bagaimana sistem kerjanya?
Tujuan buzzer dalam dunia internet sendiri cukup vital.
Hal itu lantaran penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak hingga mengundang perdebatan.
Tak sedikit yang blak-blakan, ingin mencari informasi lowongan jadi buzzer.
Informasi seputar gaji buzzer di Indonesia pernah diungkap oleh sebuah riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu.
Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Dalam laporan ini disebutkan harga yang dibanderol para buzzer.
Di Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer.
Artinya, gaji yang didapat juga sesuai dengan nilai kontrak yang disepakati.
Lantas, Berapa Biaya Buzzer di Indonesia?
Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa buzzer di Indonesia dipekerjakan dengan sistem kontrak temporer dengan nilai antara Rp 1 juta - Rp 50 juta.
Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten.
Dalam laporan ini dijelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori pemanfaatan tim buzzer berkapasitas rendah.
Artinya, praktik ini melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilihan berikutnya.
“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” tulis penelitian tersebut, dikutip Minggu (12/12/2021).
Fungsi Buzzer
Adapun secara umum, tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan buzzer saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online dilakukan untuk beberapa tujuan.
Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai.
Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor.
Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting.
Keempat, memotori pembagian dan polarisasi.
Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi.
Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.
Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.
Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer.
Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.
Buzzer akan Tetap Saling Serang
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, proyeksi kehidupan politik di sisa masa pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi akan masih muncul gangguan “perang proxy” yang melibatkan para buzzer.
Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Firman Noor, menyebut, perang proxy yang dilakukan para buzzer masih akan saling serang untuk membungkam kritik dan memunculkan versi kebenarannya sendiri.
"Termasuk adanya gangguan 'perang proxy' yang melibatkan para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik dan mencanangkan satu versi kebenaran," ucap Firman, dalam diskusi daring Setelah 2 Tahun Jokowi-Maruf: Pandemi, Legasi dan Tahun Politk, Jumat (22/10/2021).
Kata Firman, kelompok buzzer ini masih akan terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif.
Hal ini membuat konsolidasi civil society masih akan tercerai-berai (scattered) bahkan kadang saling silang.
"Secara umum kalangan ini masih terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif," ucapnya.
Buzzer Berdampak Negatif bagi Demokrasi Indonesia
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), menilai, kehadiran buzzer berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sebab, banyak buzzer cenderung sekadar menyampaikan olok-olok atau fitnah yang bertujuan untuk membunuh karakter seseorang.
"(Kehadiran buzzer apakah positif bagi demokrasi?) Ya pasti tidak. Lebih banyak dia itu tidak berargumentasi, hantam kromo saja, mau fitnah, hantam pribadi, padahal bukan soalnya," ujar JK dalam tayangan Kompas TV bertajuk “Ketika Jokowi Minta Dikritik”, Rabu (17/2/2021).
JK berpendapat, bila para buzzer menyampaikan argumentasi yang baik, tentu hasilnya akan baik bagi demokrasi.
Namun, yang terjadi, para buzzer justru asal membuat gaduh dan riuh ruang-ruang publik.
"Kalau berargumentasi dia (buzzer) dengan baik, bagus. Sekarang masalahnya asal berbeda, asal bikin riuh, tanpa argumentasi, kadang-kadang begitu," ujar JK.
JK menjelaskan, aksi para buzzer membunuh karakter seseorang menggunakan fitnah atau bully yang dilontarkan melalui media sosial membuat banyak orang jadi takut untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.
"Belum apa-apa sudah di-bully oleh buzzer. Dimaki-maki segala macam lah. Kalau sama-sama mengkritik dan alasannya apa, itu tidak apa. Tapi ini (buzzer) tanpa alasan, langsung saja dimaki-maki seperti itu," tutur JK.
Kendati demikian, ada juga yang takut menyampaikan kritik karena takut di penjara.
Selain itu, ada juga yang enggan mengkritik pemerintah karena takut tidak mendapat jatah kursi jabatan. [dhn]