WahanaNews.co | Majelis Mahkamah Konstitusi (MK)
menolak gugatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU
Penyiaran) yang diajukan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Majelis
Konstitusi menilai gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI tidak berdasar menurut hukum.
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
"Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang 24
Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi, amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk
seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Kamis
(14/1/2021).
Dalam
kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, gugatan yang
diajukan oleh iNews dan RCTI tidak
berdasar seluruhnya.
Majelis
menilai, pengawasan konten over
the top (OTT) bisa dilakukan melalui UU ITE, sementara sanksinya juga telah
diatur UU ITE dan UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Apabila
tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka
pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok," ujar Enny.
"Pemberatan
ini juga diperberat bagi korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam
UU 11 2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah
2/3," kata dia.
Selain
pengawasan berdasarkan UU ITE, pengawasan juga didasarkan pada berbagai UU
sektoral lainnya yang sesuai dengan konten layanan dilanggar.
"Misalnya
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Undang-Undang 28 2014, Undang-Undang 7
Tahun 2014, KUHP, Undang-Undang 40 Tahun 1999 dengan telah ditentukannya aspek
menegakkan hukum atas konten pelanggaran OTT dalam UU ITE, UU 36 Tahun 1999 dan
berbagai UU sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi
pidana," ucap Enny.
Sebelumnya,
pihak iNews TV dan RCTI
mempersoalkan Pasal 1 Angka 2 UU tersebut yang menyebut bahwa "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan
menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media
lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat
dengan perangkat penerima siaran".
Oleh
pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara
penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan
penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube serta Netflix.
Hal ini
karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran
konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
"Karena
tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti
layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak,
telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti
layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran," kata kuasa hukum
pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020), di
Gedung MK, Jakarta Pusat.
Dalam
gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah
hal.
Misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon
harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara
itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi
persyaratan tersebut.
Selain
itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Jika
terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI).
"Sementara
bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tentu tidak ada kewajiban
untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," ujar Imam.
"Padahal
faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang
tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata dia.
Atas
alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU
Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. [qnt]