WahanaNews.co | Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, meyakini hingga saat ini sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik bagi demokrasi Indonesia.
Dengan sistem ini, pemilih dapat memilih sosok calon legislatif yang kelak akan mewakilinya di parlemen. Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik yang selanjutnya bakal menentukan sepihak siapa kadernya yang berhak duduk di parlemen.
Baca Juga:
Dua Oknum ASN Pemkab Manokwari Disebut Bawaslu Langgar Netralitas
"Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih," ujar Aditya kepada dilansir dari Kompas.com, Senin (2/1/2023).
Ia mengakui bahwa sistem ini memang tak lepas dari masalah. Terdapat masalah biaya politik yang tinggi di lapangan, misalnya, yang tak sedikit bermuara pada politik uang.
Selain itu, sistem ini juga mengandalkan popularitas sosok calon legislatif sebagai sarana kampanye, ketimbang gagasan-gagasan partai politik.
Baca Juga:
KPU Bone Bolango Sosialisasikan Pembentukan Pantarlih untuk Pemilihan Bupati Tahun 2024
"Namun sistem yang terbuka ini mendorong pemilih lebih mudah mengenali dan mencari tahu latar belakang caleg di dapilnya," ujar Adit.
"Caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya," kata Adit.
Terlebih, saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Perubahan sistem pemilu dianggap tidak perlu dilakukan saat ini.
"Saya berpandangan bahwa agenda untuk mendorong pergantian sistem pemilu sebaiknya dapat ditunda atau ditahan hingga seluruh tahapan Pemilu 2024 dapat sepenuhnya dijalankan dengan baik," ungkap Direktur Eksekutif Algoritma itu.
"Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius di tahun berikutnya 2025 dan seterusnya. Penyelenggara dan Pengawas Pemilu kemudian dapat fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik," pungkasnya.
Wacana soal pemilu sistem proporsional tertutup, yang telah diterapkan Indonesia sejak 2009, mengemuka setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari mengungkap bahwa para politikus sebaiknya tidak mendaku diri sebagai "caleg".
Selain karena masa kampanye belum dimulai, judicial review atas sistem pemilu yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi alasan.
Menurut Hasyim, seandainya MK mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka upaya para "caleg" itu sia-sia.
Ide MPR
Namun, jauh sebelum Hasyim, politikus PDI-P sekaligus Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat telah membawa wacana ini.
Dalam lawatannya ke kantor KPU RI pada September 2022, eks Gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal mahalnya biaya politik dan kaitannya dengan korupsi para anggota dewan akibat sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini.
"Pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti lebih dari itu," ujar Djarot kepada wartawan di kantor KPU RI, Rabu (21/9/2022).
Djarot menilai, sistem proporsional tertutup juga bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislatif.
"Tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujar politikus PDI-P.
"Maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proposional yang murni, yang tertutup," imbuh dia.
Di sisi lain, ia juga mengungkit bahwa kerja KPU RI akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup, karena format suara akan jauh lebih sederhana dengan hanya menampilkan lambang partai politik, tanpa harus mencetak daftar nama caleg di setiap dapil.
"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti ini, maka format suaranya KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," pungkas dia.
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) sebelumnya sudah mengkritik dalih efisiensi di balik mengemukanya kembali wacana pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup.
Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menganggap argumen soal efisiensi ini sebagai "argumen malas" dan "jalan pintas" atas permasalahan yang rumit.
"Argumen utamanya efisiensi anggaran, efisiensi kerja enggak juga. Kalau yang dikejar hanya efisiensi, saya mau bilang gini, pemerintahan yang paling efisien adalah yang paling otoriter karena jalurnya tidak panjang," kata Hurriya, dilansir dari Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
" Tapi demokrasi kan tidak bicara melulu soal efisiensi. Esensi demokrasi adalah rakyat punya daulat, di mana masyarakat punya kuasa memilih representasinya secara langsung," jelasnya.
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya untuk duduk di parlemen. Sementara itu, dalam sistem tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik, untuk berikutnya partai yang memilihkan kadernya duduk di parlemen.
Hurriyah menambahkan, demokrasi tidak bicara soal efisien atau tidak efisien.
Dibandingkan sistem pemerintahan lain, demokrasi justru mungkin menjadi sistem yang paling tidak efisien.
"Demokrasi memang mahal, tetapi demokrasi terbukti menjadi sistem yang terbaik di antara pilihan yang buruk," ujarnya. [rna]