WahanaNews.co | Sri Dharen, pengacara dari Shinta Tjondro, istri almarhum Edi Setiawan mengungkapkan sebuah kasus tanah yang telah berlangsung puluhan tahun yang melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat desa dan mafia tanah.
Shinta dan almarhum suaminya memiliki hak atas sebidang tanah seluas 1.100 meter di Jalan Rinjani No. 1, Kota Semarang, yang telah tercatat dengan sertifikat hak milik sejak tahun 1985.
Baca Juga:
BPN Kota Depok Mediasi Sengketa Lelang Lahan Achmadi dengan BPR Olympindo Sejahtera
Namun, pada tahun 1985, dua pihak yang berinisial S menjual tanah tersebut dengan alas hak palsu kepada seseorang berinisial S.
Sertifikat hak milik kemudian diterbitkan atas nama S, yang kemudian menjual tanah tersebut kepada B.S., dan selanjutnya B.S. menjualnya lagi kepada I.S.
Sertifikat hak milik atas nama I.S. diterbitkan. I.S. bersama lurah setempat, yang diduga terlibat dalam kasus ini, dilaporkan oleh almarhum ke polisi atas tuduhan pemalsuan data terkait transaksi jual beli tanah tersebut. Akibatnya, lurah dan pihak berinisial S tersebut ditahan.
Baca Juga:
BPN Serahkan Sertifikat Tanah Milik Pemkab Padang Lawas Utara
Kasus ini berlanjut ke pengadilan, yang memutuskan bahwa sertifikat hak milik yang terbit atas nama I.S. dianggap cacat hukum.
Setelah putusan pengadilan, almarhum menyerahkan salinan putusan tersebut ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah sertifikat tersebut belum dibatalkan hingga kini.
Dengan diterbitkan Sertifikat HGB nya menggunakan dasar yang palsu, maka lanjut Dharen, otomatis HGB tersebut cacat hukum.
Pada tahun 2016, sambungnya, lurah wilayah Bendungan, tempat tanah tersebut berada, disomasi dan digugat oleh I.S. untuk mengeluarkan surat pernyataan tidak sengketa dan penguasaan fisik terhadap tanah tersebut.
Lurah yang berinisial RH menolak untuk mengeluarkan surat tersebut.
Namun, pada 28 April 2020, tanpa ada gugatan atau paksaan dari pihak I.S, lurah yang sama mengeluarkan surat pernyataan penguasaan fisik dan pernyataan tidak sengketa atas tanah yang sama.
Tetapi karena tidak dicabut malah dengan rekomendasi lurah yang dicabut kembali setelah 2 minggu terbitlah SHM baru pada Januari 2024.
Dharen, pengacara Shinta, mengungkapkan keheranannya atas tindakan Lurah tersebut.
"Saya sempat bertemu dengan lurah tersebut, namun dia mengaku bahwa surat yang dikeluarkan pada tahun 2020 adalah kesalahan," ujarnya di Semarang kepada Wartawan, Senin (6/1/2025).
Setelah klarifikasi, lanjut Dharen, Lurah tersebut mengakui kesalahan dan mengatakan bahwa surat itu dikeluarkan secara keliru.
Dharen kemudian melapor ke atasan lurah yang mengarahkan untuk melapor ke Inspektorat Balai Kota. Namun, meskipun sudah dua bulan melapor, tidak ada respon hingga kini.
Lebih lanjut, Dharen menyoroti adanya putusan pengadilan yang sudah membatalkan sertifikat hak milik tersebut, namun sertifikat tersebut masih tetap berlaku.
"Ini berdasarkan surat rekomendasi lurah pada tahun 2020. Saat ini, sertifikat hak milik atas tanah tersebut terdaftar pada Januari 2020," tambahnya.
Dharen menilai kelalaian dan ketidaktegasan aparat terkait menjadi penyebab permasalahan ini terus berlangsung.
"Jangan sampai kalian bilang mafia tanah lahir di kantor polisi. Mafia tanah mayoritas justru lahir dari para lurah, kepala desa, yang didukung oleh aparat-aparat di sekitarnya. Tidak ada mafia tanah lahir di kantor polisi jika tidak dimulai dari kelurahan dan desa," tegas Dharen.
Dharen juga mengungkapkan bahwa kasus ini melibatkan sebuah kelompok yang diduga saling berputar-putar menjual tanah di antara mereka sendiri.
"ES ini adalah bagian dari permainan mereka, seperti para developer yang seolah-olah menjadi orang yang terzalimi. Permainan-permainan ini sudah terlalu jauh," ungkapnya dengan kecewa.
Dalam upaya untuk mendapatkan keadilan bagi Shinta, yang kini sudah berusia 84 tahun, Dharen melanjutkan jalur hukum dengan menemui kepala kantor BPN Jawa Tengah.
Jika upaya di tingkat Jawa Tengah tidak membuahkan hasil, ia berencana untuk membawa masalah ini ke tingkat menteri, bahkan ke presiden.
"Ibu ini masih berjuang keras untuk keadilan. Bayangkan, ibu ini sudah berusia 84 tahun, namun hari ini masih berjuang," katanya.
Dharen mengingatkan bahwa banyak ibu lain yang tidak memiliki dukungan atau perangkat yang memadai dalam menghadapi masalah seperti ini.
"Pasti mereka lebih kesulitan," ujarnya.
Ia berharap agar aparat di semua tingkatan dapat lebih tegas dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat.
[Redaktur: Zahara Sitio]