WahanaNews.co | Pilkada 2020 tidak hanya berkutat pada isu penerapan protokol kesehatan
agar klaster Pilkada tidak sampai ada. Faktor calon tunggal dan dinasti politik juga menjadi perhatian, karena jumlahnya ditemukan meningkat di Pilkada tahun
ini.
Peneliti Centre
for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, ada empat
faktor yang membuat calon tunggal menguat dalam Pilkada. Faktor petahana atau
pejawat, biaya politik, sistem dan pencalonan internal partai politik (parpol),
serta basis partai.
Baca Juga:
MK Koreksi Total Jadwal Pemilu, Pemilih Tak Lagi Harus Mencoblos 5 Kotak Sekaligus
"Mengapa dalam situasi lingkungan politik dan
hukum yang sama, calon tunggal
meningkat?" ujar Arya, dalam konferensi nasional secara daring, Kamis (15/10/2020).
Situasi lingkungan politik dan hukum yang dimaksud, antara lain, persyaratan dukungan
calon masih sama, yakni 20 persen kursi. Tingkat fragmentasi politik di
DPRD juga masih tinggi (multipartai ekstrem), serta sistem pemilu
yang sama, yaitu district magnitude 3-12
dan tidak adanya ambang batas parlemen.
Seperti diketahui, pelaksanaan Pilkada 2020 kali ini, terdapat 25 daerah yang menggelar pemilihan dengan satu pasangan calon
(paslon) atau calon tunggal.
Baca Juga:
Pemilihan di Daerah Mundur ke 2031, Ini Putusan Mengejutkan MK soal Pilkada dan DPRD
Jumlah ini meningkat dari pilkada tahun sebelumnya, yakni Pilkada 2015, terdapat tiga daerah,
naik menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017, serta Pilkada 2018 ada 16 daerah.
Arya mengatakan, 21 dari 25 daerah dengan calon
tunggal itu diikuti calon pejawat kepala daerah. Sebanyak 11 dari 21 daerah
tersebut, kepala daerah dan wakil kepala daerahnya kembali berpasangan untuk
maju dalam Pilkada 2020.
Lalu, 11 daerah dengan calon tunggal yang maju sebagai
kepala daerah berasal dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kemudian, ada dua daerah lainnya yang diikuti calon tunggal memiliki hubungan
dengan PDIP.
Hal ini berkaitan juga dengan faktor basis partai yang
menyebabkan calon tunggal menguat. Sebagian besar daerah yang diisi oleh calon
tunggal merupakan basis PDIP, seperti Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Semarang,
Grobogan, Badung, Ngawi, dan Kediri.
Faktor lain yang membuat calon tunggal menguat ialah
sistem dan pencalonan internal partai. Terjadinya multipartai ekstrem akibat
alokasi per daerah pemilihan (district
magnitude 3-12) di DPRD dan tidak adanya ambang batas parlemen di daerah.
Situasi multipartai ekstrem ini, apalagi ditambah
dengan persyaratan pencalonan yang masih tinggi, membuat proses pembentukan
koalisi di tingkat lokal menjadi rumit. Selanjutnya, calon tunggal yang
terpilih nantinya akan memberikan efek terhadap tata kelola pemerintah daerah.
Pertama, calon terpilih dihadapkan pada kondisi harus
mengakomodasi kepentingan politik partai-partai yang mengusungnya. Mulai dari
pengisian pejabat di dinas dan pemberian pork
barrel bagi partai.
Kedua, calon tunggal yang diusung oleh banyak partai
tentu membuat kontrol tidak akan maksimal. Sebab, sebagian besar fraksi di DPRD
merupakan pengusung kepala daerah tersebut.
"Dan ketika tidak ada kontrol, tidak ada
pengawasan, tentu proses-proses pembentukan kebijakan di daerah tidak akan
berjalan mulus," kata Arya.
Ketiga, akibat tidak ada pengawasan yang kuat di
tingkat legislatif, potensi korupsi juga akan menguat saat calon tunggal
terpilih. Terutama dalam pengesahan kebijakan rancangan anggaran pendapatan dan
belanja daerah (RAPBD) dengan uang ketok palu.
Pilkada 2020 juga ditemukan akan diisi dengan 124
pasangan calon kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik. Pilkada di
Sulawesi Selatan menjadi daerah yang paling banyak mengusung calon yang
terafiliasi dinasti politik.
"Sulawesi Selatan daerah dengan jumlah kandidat
dinasti politik terbanyak, ada 12 calon kepala daerah yang terafiliasi dinasti
politik," ujar peneliti Nagara Institute,
Febriansyah Ramadhan, dalam rilis daringnya, Kamis (15/10/2020).
Ia menjelaskan, ada pola dinasti politik yang terulang
di Sulawesi Selatan. Pertama, adanya pertarungan antar-dinasti pada Pilkada
2020. Seperti yang terjadi di Tangerang Selatan, antara dinasti Ratu Atut,
Partai Gerindra, dan putri Wakil Presiden Ma"ruf Amin.
"Itu tidak ada hubungan, tapi di Sulawesi Selatan ini
uniknya adalah terjadi pertarungan sesama dinasti. Jadi sesama keluarga itu
saling bertarung," ujar Febri.
Kedua adalah Sulawesi Utara, sebanyak 11 orang.
Selanjutnya, ada Jawa Tengah sebanyak 10 orang kandidat dinasti yang tersebar di tujuh kabupaten
pemilihan dan dua kota pemilihan.
"Di Jawa Timur yakni sebanyak sembilan orang yang
tersebar di tujuh kabupaten pemilihan dan dua kota pemilihan," ujar Febri.
Berdasarkan partai politik, Partai Golkar menjadi yang
paling banyak mengusung dinasti politik, yakni 12,9 persen.
Disusul PDIP dengan 12,4 persen dan Partai Nasdem 10,1 persen.
Dalam hal partai yang mengusung calon kepala daerah
non-kader, Partai NasDem menempati posisi teratas sebanyak 13,1 persen.
Kemudian ada PDIP dengan 11,7 persen dan Partai Hanura 9,7 persen.
Dari data tersebut
disimpulkan, bahwa partai politik di Indonesia masih belum dapat melakukan
fungsi rekrutmennya dengan baik. Partai belum menjadi tempat untuk menyiapkan
calon pemimpin daerah yang berbasis nilai.
Pragmatisme partai
masih ditunjukkan dengan merekrut calon kepala daerah yang bukan merupakan
kadernya. Ini terbukti dari diusungnya Gibran Rakabuming Raka oleh PDIP di
pemilihan Wali Kota Solo dan Bobby Nasution di pemilihan Wali Kota Medan.
"Fungsi rekrutmen yang
tidak berjalan baik akhirnya kian menyuburkan dinasti politik yang masih
menjadi masalah dalam demokratisasi di tingkat lokal," ujar Febri.
Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan, melihat ada persoalan
di partai politik dan pemerintah yang membuat dinasti politik marak terjadi.
Namun, ia mengungkapkan bahwa ada sejumlah cara agar hal ini tak lagi masif
terjadi di Pilkada selanjutnya.
"Pertama, calon
(kepala daerah) wajib punya pengalaman kerja publik, baik kepartaian atau
pemerintahan paling kurang lima tahun. Agar menghindari calon ujug-ujug diusung
oleh parpol atau koalisinya," ujar Djohan.
Kedua, perlu adanya
uji publik calon kepala daerah oleh partai politik. Hal ini perlu dilakukan
untuk menyoroti rekam jejak si calon dan mengatasi adanya kongkalikong antara
koalisi partai.
Selanjutnya, adanya
syarat pendidikan bagi calon kepala daerah yang paling rendah adalah S1 dan
berusia minimal 40 tahun untuk gubernur.
"Lalu 35 tahun untuk
bupati atau wali kota, untuk menjamin kualitas kepemimpinan pemda," ujar
Djohan.
Mantan Direktur
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu juga mengusulkan adanya
larangan rangkap jabatan antara pemerintahan daerah dan partai politik. Aturan
ini perlu diterapkan untuk mencegah manipulasi kerabat dalam Pilkada.
Di samping itu, kepala
daerah yang kerabatnya diketahui maju dalam pilkada di daerahnya wajib cuti di
luar tanggungan negara. Agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang selama
tahapan Pilkada.
Direktur eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal, mengatakan, maraknya dinasti politik terjadi karena rendahnya proses kaderisasi oleh
partai politik. Pragmatisme yang terjadi saat ini adalah ketika partai
mengusung sosok yang memiliki elektabilitas dan modal yang besar.
Untuk itu, ia
mengusulkan adanya revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai
Politik. Agar partai dapat menjadi laboratorium yang menyiapkan calon pimpinan
daerah di masa depan.
"Agar mengharuskan
seorang calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik telah berproses
menjadi kader partai, sekurang-kurangnya selama lima tahun," ujar Akbar.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin
Muhtadi, mengusulkan agar diturunkannya ambang batas pencalonan kepala daerah
sebesar 20 persen di tingkat DPRD, dalam Pilkada. Salah satu tujuan utamanya
adalah untuk mengurangi potensi dinasti politik.
"Sehingga peluang
partai lain dalam mengusung calon kepala daerah lebih besar, karena syarat 20
persen itu kan menyulitkan. Untuk
mengunci 20 persen itu nyaris mustahil," ujar Burhanuddin.
Ia menjelaskan,
besarnya syarat pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen berimplikasi kepada
partai politik yang lebih banyak berkutat kepada komunikasi dan biaya politik. Hingga akhirnya,
partai lebih memilih calon kepala daerah yang sudah memiliki elektabilitas,
dukungan, dan modal yang tinggi.
Dari sinilah dinasti
politik terjadi, karena partai lebih memilih jalan yang tak berisiko tinggi
untuk memenangkan calonnya. Sehingga banyak daerah yang menggelar Pilkada tak
memiliki calon-calon pemimpin alternatif, di samping sosok yang sudah memiliki
nama.
"Kalau (ambang batas
pencalonan) diturunkan, ada alternatif-alternatif lain yang memungkinkan para
elite politik memberi alternatif lain di luar dinasti politik, dan dinasti
politik tidak bisa semena-mena melakukan akuisisi terhadap partai yang punya
hak mencalonkan," ujar Burhanuddin.
Ia mencontohkan,
tingginya ambang batas pencalonan yang berakhir pada dinasti politik terjadi di
pemilihan Wali Kota Solo. Saat putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang notabenenya
bukan kader, diusung oleh PDIP.
Hal ini berujung
kepada partai lain yang tak berani mendukung sosok selain Gibran. Karena ia
telah memiliki nama yang telah dikenal oleh masyarakat dan didukung oleh PDIP
yang merupakan partai pemenang di Solo.
Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang berusaha menghadirkan penantang bagi Gibran juga tak bisa
berbuat banyak. Karena tingginya ambang batas persyaratan kepala daerah sebesar
20 persen.
"Jadi kalau saya
melihat politik dinasti semata-mata bukan sebagai independen variabel, dia
bukan jadi sekedar penyebab dari munculnya politik koruptif oligarki yang buruk,
tetapi dia juga menjadi akibat dari sistem institusi politik kita yang tidak
pas," ujar Burhanuddin. [dhn]