Oleh DENNI SITANGGANG
Baca Juga:
Otto Hasibuan Tolak Putusan Mahkamah Konstitusi
PEMBENTUKAN organisasi
advokat
di Indonesia, ternyata, menimbulkan polemik mengenai siapa yang (paling) diakui
keberadaannya.
Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi) menyatakan, organisasinyalah satu-satunya yang sah
diakui undang-undang.
Baca Juga:
Simak! Inilah Tugas dan Fungsi Organisasi Advokat Peradi
Namun, hal tersebut ditentang
oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Salah satu
alasannya, pendirian Peradi tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Sejak
Musyawarah Nasional (Munas) 2015,
Peradi sudah pecah
jadi tiga: Peradi SAI (Suara Advokat Indonesia) yang
diketuai Juniver Girsang, Peradi RBA (Rumah Bersama Advokat) yang dipimpin
Luhut MP Pangaribuan, dan Peradi SOHO dengan Fauzie Yusuf Hasibuan sebagai
ketua umumnya.
Memang, pada 25 Februari 2020, ketiga
Peradi itu telah
bertemu untuk membahas sejumlah kesepakatan.
Juniver
Girsang, Ketua Umum
Peradi SAI, mendorong rekonsiliasi di antara ketiga kubu.
"Dalam
pertemuan itu, disepakati mengupayakan Munas bersama. Namun, setelah beberapa
kali pertemuan, tim perumus belum berhasil merumuskan langkah-langkah ke arah
Munas bersama," ujarnya.
Menurutnya,
advokat saat ini mengalami berbagai persoalan.
Mulai
dari oknum-oknum yang terlibat dalam mafia perkara pidana, sampai saling
serang antar-advokat
sehingga mengesampingkan
tugas utamanya
dalam membela klien.
Persoalan
itu muncul karena berbagai faktor. Salah satunya, semakin longgarnya persyaratan
menjadi advokat.
Juniver berharap,
rekonsiliasi dapat mengurai masalah-masalah tersebut.
"Saya
berharap organisasi
advokat
bersatu. Kalau memang tidak bisa, mari membentuk satu dewan kehormatan, dan merumuskan
kode etik serta rekrutmen bersama yang berkualitas," jelasnya.
Sistem
single bar atau "wadah tunggal" itu juga
disepakati Ketua Umum Peradi RBA, Luhut MP Pangaribuan.
Namun,
wadah tunggal yang
dimaksud itu bukanlah menyatukan
kewenangan dalam satu tangan, melainkan meningkatkan standar profesi.
"Salah
satu yang utama adalah mengenai etika advokat. Jadi, sangat dibutuhkan satu
dewan kehormatan. Jika sudah satu, seberapa banyak pun organisasi profesi, tidak ada
masalah,
karena standarnya sudah sama," jelas Luhut.
Hal
senada juga disampaikan Otto Hasibuan, selaku "bos" Peradi SOHO. Pihaknya terus
berupaya untuk mewujudkan sistem wadah tunggal (single bar) tersebut.
"Sekarang
ini diupayakan cara damai. Kita berupaya, dan mudah-mudahan itu bisa, dan saya punya
keyakinan akan bisa. Jadi, sistemnya begini, kita akan berupaya, pertama
kali, Peradi itu bersatu," katanya.
Menurutnya,
dalam Undang-undang Advokat
Nomor
18 Tahun
2003, kewenangan tersebut diberikan kepada Peradi.
Namun, seiring
berjalannya waktu, muncul surat dari MA yang membolehkan Pengadilan Tinggi
menyumpah advokat yang diajukan oleh organisasi selain Peradi.
"Berarti, single bar,
wadah tunggal yang diamanatkan UU Advokat itu, kan telah
dilanggar. Jadi,
pelanggaran ini harus diluruskan. Kita mau kembalikan kepada apa yang
diamanatkan UU Advokat,"
ucapnya.
Ia
juga mengatakan,
sistem single bar sudah teruji di
banyak negara.
Oleh
karenanya, ia berharap upaya rekonsiliasi Peradi terus digaungkan, demi
meningkatkan martabat advokat Indonesia.
Multi-Bars
Peradi
memang menginginkan organisasi advokat dengan sistem single bar atau wadah tunggal.
Namun,
pihak KAI berpendapat lain.
Wakil
Ketua Umum KAI,
Tommy Sihotang,
mengatakan, pihaknya lebih memilih sistem multi-bars atau banyak wadah.
Meski begitu, soal
pembentukan
mahkamah profesi atau dewan kehormatan serta ujian bersama demi meningkatkan
kualitas dan menjaga martabat advokat, ia sepakat.
"Jangan
seperti dulu, ada advokat yang dihukum di organisasi A, pindah ke organisasi
B dan C. Enggak boleh lagi seperti
itu. Advokat yang dihukum di satu organisasi, dia tetaplah terhukum di
organisasi manapun," ujarnya.
Tommy
menilai, sistem banyak wadah lebih cocok bagi organisasi ini.
Sebab,
sejumlah profesi lain, seperti wartawan dan bidang-bidang perekonomian,
juga sudah menerapkan
sistem yang sama, multi-bars.
"Kalau
Peradi menginginkan sistem single bar,
silakan saja. Namun, itu enggak cocok
dengan pergumulan kami," ucapnya.
Sementara itu, Presiden
KAI,
Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, mengutip penggalan keterangan pemerintah
dalam Putusan MK No. 35/PUU-XVI/2018, yang menyebutkan,
"Dalam perjalanan kurang lebih 15 tahun
keberadaan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ternyata dalam implementasinya
telah menimbulkan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan berbagai pihak terutama
beberapa organisasi advokat selain Peradi terbukti bahwa UU Advokat telah diuji
ke MK sebanyak 22 kali. Karena itu, Pemerintah memohon kepada MK agar dalam
putusannya memerintahkan kepada pembentuk UU agar segera membahas kembali RUU
Advokat yang telah dibahas pada masa lalu."
"Berkaitan
keinginan sebagian advokat
yang menghendaki bentuk organisasi tetap single
bar atau akan dilakukan perubahan menjadi bentuk multi-bars, hal tersebut juga telah ditegaskan dalam
putusan Mahkamah, di mana
Mahkamah telah berpendirian bahwa hal ini merupakan bagian dari kebijakan hukum
yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukan yang sesuai
dengan kebutuhan organisasi advokat di Indonesia," Jelasnya.
Dia
mengklaim,
Putusan MK No. 112/PUU-XII/2014 dan Putusan MK No. 36/PUU-XIII/2015 itu telah secara
eksplisit menyebutkan eksistensi KAI sebagai organisasi advokat.
Dengan
demikian, KAI berhak menjalankan wewenangnya menyelenggarakan Pendidikan Khusus
Profesi Advokat (PKPA), ujian advokat, mengangkat advokat, dan mengusulkan
anggotanya untuk mengucapkan sumpah atau janji pada sidang terbuka di
Pengadilan Tinggi.
Menurutnya,
putusan ini semakin meneguhkan agar jangan menutup mata terhadap masa depan
dunia advokat yang multi-bars.
Terpenting
diperhatikan, pendapat MA dan politik hukum pemerintah untuk mendorong
pembentuk UU agar membahas kembali RUU Advokat yang secara history juga telah diperjuangkannya.
"Ini
kesempatan baik. Karena
itu,
saya mengajak kepada DPN Peradi untuk duduk bersama-sama dengan DPP KAI, merumuskan RUU
Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia yang disesuaikan perkembangan zaman,"
harapnya.
So, senyatanya,
apapun bentuknya, ternyata sudah ada titik temu dari para pengusung sistem single bar dan multi-bars itu, yakni sama-sama berniat menjaga standar martabat
advokat.
Dan, hakikat itulah yang sesungguhnya
harus terus diupayakan.
Karena, hakikat itu jualah yang sesungguhnya
paling dibutuhkan para pencari keadilan, pengguna jasa advokat, "pasar"-nya
para advokat, tak peduli apakah organisasinya berpijak pada sistem single bar atau multi-bars. (Denni
Sitanggang, wartawan WahanaNews)-yhr