WahanaNews.co | Kabar meninggalnya Pollycarpus Budihari Priyanto membuat salah satu rantai
yang mestinya bisa menjelaskan kasus pembunuhan Munir menjadi terputus.
Tak heran jika
warganet menyebutkan kasus ini sebagai the
death of pawn alias kematian pion. Di sisi lain,mastermindatau
otak di balik pembunuhan Munir semakin tidak tersentuh.
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng Tingkatkan Kesadaran dan Cegah Perundungan Siswa Lewat Diseminasi HAM
Di luar itu, sebuah
cuitan yang mempertanyakan siapa Munir menunjukkan bahwa ingatan publik tentang
kasus Munir yang belum terungkap tuntas harus terus dirawat.
Jika menelusuri
Wikipedia, sebetulnya publik akan mengetahui siapaMunir Said Thalib dan
bagaimana aktivitasnya dalam penegakan HAM di Indonesia.
Munir
lahirdiMalang,Jawa Timur,8 Desember1965. Almarhum
Munir meninggal di dalam pesawat jurusan keAmsterdam,7
September2004pada umur 38 tahun.
Baca Juga:
Bjorka Ungkap Dalang Kasus Pembunuhan Aktivis HAM, Ini Kata Istri Munir
Semasa hidupnya Munir
dikenal sebagai seorang aktivisHAM di Indonesia. Terakhir Munir menjabat
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat
DewanKontras, Munir berjuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada
masa itu, seperti membela para aktivis yang menjadi korban penculikanTim MawardariKopassus.
Anak Keenam dari Tujuh
Bersaudara
Munir Said Thalib
adalah anak keenam dari tujuh bersaudara Said Thalib dan Jamilah. Di Malang ia
menyelesaikan jenjang pendidikan S1 dan meraih gelar sarjana hukum dari
Fakultas HukumUniversitas Brawijaya.
Semasa kuliah Munir
pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada
tahun 1988.
Dia juga pernah
menjadi Koordinator Wilayah IV AsosiasiMahasiswaHukum Indonesia
pada tahun 1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan
BerpikirUniversitas Brawijayapada tahun 1988, Sekretaris Dewan
Perwakilan Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris
Al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan menjadi anggotaHimpunan Mahasiswa
Islam(HMI).
Tangani Sejumlah
Kasus
Munir aktif melakukan
pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama terhadap kaum tertindas. Ia
mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi, bahkan juga membantu
pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunanRancangan
Undang-Undang(RUU).
Beberapa kasus yang
pernah ditangani Munir di antaranya kasus Araujo yang dituduh sebagai
pemberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur dari
Indonesia pada 1992.
Kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh
oknum militer pada tahun 1994 juga ditangani Munir.
Tak sedikit kasus yang
menempatkan Munir berhadapan dengan kalangan militer di masa itu.
Munir misalnya
tercatat sebagai penasihat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus terbunuhnya
petani-petani oleh militer pada 1993.
Munir juga menjadi
penasihat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam kasus kerusuhan di PT
Cheil Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995.
Munir pun menjadi
penasihat hukum Muhadi yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang
polisi di Madura, Jawa Timur pada 1994.
Kasus besar lain yang
ditangani Munir adalah saat menjadi penasihat hukum para korban dan keluarga
Korban Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di
Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998.
Munir juga menjadi
penasihat hukum korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984 hingga
1998, penasihat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di
Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator
advokasi kasus- kasus pelanggaran berat HAM diAceh,Papua, melalui
Kontras.
Kasus yang dia tangani
termasuk beberapa kasus di wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari
kebijakan operasi Militer. Munir aktif di beberapa kegiatan advokasi dalam
bidang perburuhan, pertanahan, lingkungan, gender dan sejumlah kasus
pelanggaran hak sipil dan politik.
Pada 2003, Munir
bersikeras untuk ikut dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi
mendatangi DPR paskapenyerangan dan kekerasan yang terjadi di kantorTempo.
Pada 2004, Munir
bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh Pemda.
Selain aktif
memberikan advokasi, Munir juga aktif menulis di berbagai media cetak dan
elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan
kepolisian, Politik dan perburuhan.
Meninggal di Pesawat
Beragam penghargaan
menunjukkan bagaimana masyarakat menghargai keberanian dan konsistensi Munir
dalam memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia.
Namun, takdir
mengantarkan Munir dalam kematian yang tragis.
Tiga jam
setelahpesawat GA-974lepas landas dari Singapura, awak kabin
melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir
yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit.
"Munir bolak
balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir.
Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu," demikian
kronologi kasus terbunuhnya Munir seperti dikutip dari Wikipedia.
Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September
2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam diBandara SchipolAmsterdam, saat
diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada 12 November 2004,
dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan
jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.
Hal ini juga
dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni
Munir pada saat itu.
Jenazahnya dimakamkan
di Taman Makam Umum Kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama
Suciwatidan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva.
Sejak tahun 2005,
tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai
Hari Pembela HAM Indonesia.
Pollycarpus dan Muchdi
PR
Pada 20 Desember
2005Pollycarpus Budihari Priyantodijatuhi vonis 14 tahun hukuman
penjara atas pembunuhan terhadapMunir.
Hakim menyatakan
bahwaPollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh
arsenik dalam makanan Munir karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah
tersebut.
Hakim Cicut Sutiarso
menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan
telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi
tidak menjelaskan lebih lanjut.
Selain itu Presiden
SBY juga membentuk tim investigasi independen, tetapi hasil penyelidikan tim
tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni
2008,Mayjen (purn)Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan
dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.
Beragam bukti kuat dan
kesaksian mengarah padanya. Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas.
Hari ini, Sabtu
(17/10/2020) Pollycarpus dikabarkan meninggal dunia. Lantas bagaimana
pengungkapan kasus Munir? Akankah terpendam dan dilupakan? [dhn]