Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), telah menyatakan pandangannya bahwa perdebatan mengenai hak angket terkait dugaan kecurangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanyalah strategi politik yang tidak bermakna.
Pandangan Jimly adalah bahwa penggunaan hak angket tidak akan berdampak signifikan karena dilakukan dalam batas waktu yang terbatas, yaitu delapan bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada tanggal 20 Oktober 2024 mendatang.
Baca Juga:
Dalam Sesi Doa, MUI Harap Presiden Prabowo Bangun Demokrasi dan Berantas Korupsi
"Hak angket itu kan, hak interpelasi, hak angket, penyelidikan, ya waktu kita 8 bulan ini sudah enggak sempat lagi, ini cuma gertak-gertak politik saja," kata Jimly di kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2/2024).
Menurut Jimly, penanganan dugaan kecurangan Pemilu sudah diatur dalam undang-undang melalui Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta mengajukan gugatan sengketa ke MK.
Wacana menggulirkan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu pertama kali diangkat oleh calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo.
Baca Juga:
Jokowi Minta MPR RI Sukseskan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Ganjar mendorong dua partai politik pengusungnya, PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan, menggunakan hak angket karena menurutnya DPR tidak boleh diam dengan dugaan kecurangan yang menurutnya sudau telanjang.
"Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu," kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024).
Gayung bersambut, calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan partai politik pengusungnya juga siap untuk menggulirlan hak angket.