WahanaNews.co | Akademisi Rocky Gerung dihadang massa saat keluar dari pemeriksaan oleh Bareskrim dikawasan Mabes Polri, pada Rabu (6/9) lalu.
Dia dipersekusi usai menjalani pemeriksaan di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri soal kasus penghinaan terhadap presiden Jokowi.
Baca Juga:
Putra Kelahiran Serui, Irjen Pol Alfred Papare Menjadi Kapolda Papua Tengah
Kuasa hukum Rocky Gerung, Haris Azhar mengungkapkan saat itu pihaknya tidak mengetahui identitas pelaku.
Namun, berdasarkan temuan sejumlah media, Haris Azhar mengonfirmasi identitas dari perempuan tersebut yang berinisial NK adalah Bacaleg DPRD Cianjur dari PDIP.
Hal ini mendapat tanggapan dari Political Economy and Policy Studies (PEPS). PEPS menilai perlu untuk menyampaikan sejumlah hal.
Baca Juga:
Komjen Ahmad Dofiri Resmi Jabat Wakapolri
Pertama, PDIP wajib memecat anggotanya, Noviana, yang terlibat aksi kekerasan dan main hakim, dan juga membatalkan pencalonan legislatifnya karena, Indonesia adalah negara hukum.
Bagaimana bisa, seorang caleg (calon legislatif) berperilaku otoriter, memaksakan kehendaknya sendiri, di muka halaman Kepolisian Republik Indonesia? Kalau terpilih jadi anggota legislatif, akan dibawa kemana negara ini?
Rocky Gerung ketika itu sedang menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, memenuhi panggilan Polisi dan proses hukum yang sedang berjalan.
Seharusnya, setiap orang wajib menghormati proses hukum ini, tidak bisa main hakim sendiri, apalagi dengan tindakan kekerasan.
Kedua, Kapolri Sigit Sulistyo harus memeriksa Noviana dan kawan-kawan yang bertindak main hakim sendiri, di muka halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, dengan menggunakan kekerasan dan intimidasi, seolah-olah hukum tidak berlaku bagi mereka.
Apakah benar mereka kebal hukum sehingga bisa berbuat seenaknya di depan Markas Besar Polri?
Kapolri juga wajib usut tuntas, siapa di belakang sekelompok masyarakat tersebut yang melakukan tindakan membahayakan (nyawa) orang lain, yang sedang diperiksa di Kepolisian Republik Indonesia.
Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan, bahwa polisi tidak bisa lagi menjaga keamanan warga negara, seperti dijamin konstitusi, bahkan di muka halamannya sendiri.
Tanpa tindakan hukum secara tegas kepada mereka yang main hakim sendiri, maka tindakan kekerasan seolah-olah dibolehkan di Republik ini, sehingga akan menjadi preseden buruk, dan akan diikuti oleh pihak-pihak atau daerah-daerah lainnya.
Terbukti, tindakan kekerasan juga terjadi di Sleman.
Semoga Kapolri Sigit Sulistyo segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Indonesia tidak menjadi negara barbar, di mana setiap orang bisa main hakim sendiri.
[Redaktur: Zahara Sitio]