WahanaNews.co | Luhut Binsar Pandjaitan menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kamaritiman dan Investasi atau disingkat Menko Marves.
Tapi, secara faktual, Luhut mengurusi banyak hal di luar bidang maritim dan investasi.
Baca Juga:
Resmikan Bandara Dhoho Kediri, Luhut: Bandara Pertama yang Dibangun Tanpa APBN
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Luhut mengurus penanganan Covid-19 sebagai Wakil Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, sekaligus Koordinator PPKM Jawa-Bali.
Secara resmi, ada 6 jabatan yang dibebankan di pundak Luhut.
Terakhir, dia ditugasi memimpin Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang selama ini menjadi tanggung jawab Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Baca Juga:
Luhut Pandjaitan: Pabrik di Jakarta Dipasang Sensor Deteksi Gas Kurangi Polusi Udara
Karena itu, jauh sebelumnya dia kerap dipelesetkan sebagai “menkosaurus” alias menko segala urusan.
Soal urusan mengeksekusi masalah, Luhut sepertinya memang tidak perlu diragukan.
Sebagai jenderal yang besar di pasukan antiteror pada masa Orde Baru, Luhut sepertinya sudah tahu kunci-kunci setiap masalah, termasuk untuk urusan lobi.
Luhut punya tokoh idola, yang menurut dia, menjadi rujukan dalam memimpin, yakni Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani atau LB Moerdani.
Di mata Luhut, Benny Moerdani adalah sosok yang dikagumi.
Melalui akun media sosialnya yang diunggah pada Juli 2019, Luhut berbagi cerita kesaksiannya sebagai orang yang pernah dekat dengan Benny Moerdani.
Dalam unggahan tersebut, Luhut menyertakan potret dirinya tengah mengunjungi makam Benny Moerdani di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Tiba-tiba Saya Teringat Pak Benny,” tulis Luhut, mengawali ceritanya.
“Suatu sore, saya tiba-tiba teringat kepada almarhum Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani, salah satu jenderal tempur TNI yang saya kagumi. Saya memang sudah beberapa waktu tidak berziarah ke makamnya,” lanjutnya.
Alasan itulah yang membawa Luhut untuk “menjenguk” Benny Moerdani di tempatnya bersemayam.
Benny Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah sempat dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto.
Benny Moerdani meninggal di usianya yang ke- 72 tahun.
“Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup. Kemudian saya sentuh batu nisannya,” cerita Luhut.
Bagi Luhut, Benny Moerdani adalah sosok yang dikaguminya sejak dirinya masih menjadi perwira menengah TNI-AD.
Luhut mengaku mulai mengenal Benny Moerdani sejak dia berpangkat mayor, sebelum dirinya bersama Prabowo Subianto dikirim untuk belajar mengenai pasukan anti-teror di GSG-9 di Jerman Barat.
Kendati waktu itu Benny Moerdani berpangkat letjen dan menjabat Asintel Hankam/ABRI, dari waktu ke waktu Benny Moerdani selalu minta Luhut untuk memberikan laporan kemajuan pendidikannya.
“Ia tidak malu menelepon saya dan mengajukan pertanyaan yang mendetail,” tulis Luhut.
Setelah Luhut pulang dari pendidikannya di Jerman Barat dan mulai memimpin pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Datasemen 81 (Den-81), dia sering dipanggil menghadap Benny Moerdani di kantornya di Jalan Sahardjo, kini Balai Prajurit TNI.
“Entah menanyakan pelatihan pasukan yang baru itu, atau lain-lain. Dari situ, saya mendapat kesan khusus mengenai betapa dia memiliki karakter yang sangat kuat,” ungkap Luhut.
Menurut Luhut, Benny Moerdani adalah sosok yang berwibawa yang terpancar dari auranya ditambah dengan wajahnya yang keras dan jarang tersenyum.
Luhut mengagumi loyalitas Benny Moerdani kepada pimpinan negara dan NKRI yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Setiap kata atau tindakannya mencerminkan, menurut istilah masa kini, kesetiaan yang tegak lurus ke atas.
Suatu hari, sebelum Luhut pernah mendapat penugasan memimpin operasi khusus Pengamanan Presiden Soeharto dalam KTT Asean di Kota Manila, Filipina, Benny Moerdani yang sudah jadi Panglima ABRI mengatakan dengan dingin, “Luhut, sejak dua atau tiga tahun lalu, sudah banyak yang antre untuk menggantikan saya, tetapi orang ini (sambil menunjuk foto Pak Harto di dinding) kalau terjadi sesuatu pada dirinya…Republik itu menjadi kacau…!” kata Benny Moerdani dengan tegas kepada Luhut.
“Jadi Luhut, taruhan keselamatan Pak Harto adalah lehermu..!”
Sebagai perwira, Luhut hanya bisa menjawab, “Siap! Laksanakan!”
Konsekuensi Kedekatan
Akibat sering dipanggil ke kantornya, lama-kelamaan Luhut merasa risih.
Kebanggaan dipanggil oleh Panglima ABRI mengecil, karena pasti banyak yang mengetahui, dan banyak pula seniornya yang tidak senang.
“Mungkin juga jadi iri, seorang perwira menengah dipanggil oleh jenderal bintang empat berjam-jam,” ungkap Luhut.
Suatu hari ketika mood Benny Moerdani sedang bagus, Luhut memberanikan diri bertanya, “Pak, mohon izin, lain kali kalau memanggil saya bisakah melalui atasan saya?” kata Luhut, saat itu.
Luhut kemudian mencuri pandang wajah Benny Moerdani.
Setelah mendengar ucapan Luhut, rupanya membuat Benny Moerdani murka, mukanya lalu mengeras dan kedua tangannya mulai menyapu-nyapu mejanya.
Kejadian itu membuat Luhut menciut.
“Saya menyesal, kok berani-berani membuat beliau marah,” ungkap Luhut.
“Luhut!” kata Benny Moerdani, dengan nada dalam.
“Saya jenderal bintang empat!” sambil menunjukkan tanda pangkatnya di bahu.
“Dan kamu Letkol!” tandasnya.
Sejak itu, Luhut tidak pernah berani menanyakan lagi soal itu.
Beberapa tahun kemudian, ketika Benny Moerdani pensiun, Luhut menerima konsekuensi karena jadi golden boys alias anak emasnya Benny Moerdani.
“Tapi saya terima itu dengan besar hati. Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus. Dan saya bangga mampu menjalankan nilai-nilai yang diturunkan oleh Pak Benny kepada saya,” tulis Luhut.
Banyak pelajaran mengenai kepemimpinan dan kemiliteran yang Luhut dapatkan dari Benny Moerdani.
Luhut mengakui, karena pengaruh Benny Moerdani itulah yang membuatnya tertarik pada masalah-masalah intelijen, di antaranya dalam memelihara jaringan (networking) dengan berbagai tokoh di dunia.
Benny Moerdani mempunyai buku alamat kecil yang sudah lusuh karena penuh dengan nama-nama tokoh penting dan nomor telepon hotline yang ia bisa hubungi 24 jam sehari.
“Kenangan manis bersama Jenderal Benny Moerdani saya tuangkan dalam biografi saya nanti. Untuk sementara saya hanya bisa katakan, Rest in Peace Jenderal Benny! Hingga hari ini saya tidak mengecewakan harapan bapak!” tulis Luhut, menutup ceritanya. [qnt]