WahanaNews.co | Disebutkan ekonom dari Rumah Restorasi Indonesia (RRI) Lukman Hakim Hasan, masyarakat perlu mengetahui tentang parameter kemiskinan yang kerap pakai, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan struktural.
“Kedua hal tersebut adalah pada persoalan cara pandang. Kemiskinan struktural itu karena ekonomi kita itu, kan strukturnya yang sudah permanen. Struktur ekonomi itu ada tiga yaitu sektor pertanian; sektor industri; sektor jasa ekonomi,” ujar Lukman dalam Podcast RRI dengan tema “Menuju Orde Restorasi Indonesia”, yang dipandu Nur Indah Fitriani, Selasa (17/1/2023).
Baca Juga:
Putusan MK Beri Kepastian pada Investor, Ekonom Berharap Belanja Modal Meningkat
Lukman menguraikan, selama ini normalnya, masyarakat bergeser usahanya dari sektor pertanian ke industri dan jasa. Kecenderungan besar masyarakat sudah meninggalkan usaha di sektor pertanian kepada industri.
“Tetapi masalahnya industrinya juga tidak berkembang kemudian proses yang terjadi pada akhirnya banyak yang tersisa di tengah ini yang kemudian miskin,” ungkapnya.
Selanjutnya, Lukman menguraikan, hal seperti inilah yang namanya kemiskinan struktural yakni kemiskinan ekonomi, kemudian industri berkembang cepat tetapi jasa kemudian tidak merespon, sehingga disini juga ada lagi yang kemudian terselip ada kemiskinan lagi.
Baca Juga:
Heboh Kabar 15 Menteri Jokowi Mundur, Sandiaga Ungkap Situasi Sebenarnya
“Contoh kasusnya, misalkan krisis moneter pada tahun 97/98. Kala itu kan banyak PHK. Orang-orang yang pekerjaannya sudah masuk ke sektor industri dan jasa, kemudian kena PHK jadi miskin lagi, inilah kemiskinan struktural,” ujar Ketua RRI ini.
Selanjutnya, doktor yang mengajar di sejumlah universitas ini menjawab pertanyaan Nur Indah Fitriani, menjelaskan tentang kemiskinan absolut, adalah menghitung kemiskinan menurut definisi yang digunakan oleh bank dunia yakni kemiskinan itu adalah pada orang yang hidup berpenghasilan di bawah 2 US dollar.
“Berada di posisi itulah kemiskinan Absolut. Jadi definisi yang digunakan oleh bank dunia saat ini adalah definisi akibatnya adalah penghasilannya di bawah 2 US dollar per hari. Itu adalah orang miskin,” bilangnya.
Sementara itu, kriteria yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik (BPS) lebih fleksibel. BPS melakukan survei–yang dulu sering dipakai oleh definisi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Misalkan saja ada sekitar 14 definisi yang dipakai BPS. Misalkan begini, rumah masih lantai tanah yang memenuhi 9 dari 14 kategori dibilang miskin. Yang kemudian oleh BKKBN yang diterbitkan oleh BPS adalah keluarga prasejahtera dan sejahtera satu, dengan definisi ini maka lebih luas cakupannya. Ukuran yang lain lantai rumah sudah pakai keramik dinilai tidak miskin, tetapi di aspek lain dinilai masih miskin lantaran hanya makan daging setahun sekali, dan beli baju baru tidak setahun sekali, itu juga nilai miskin,” urainya.
Selain itu juga dianggap keluarga yang sudah punya sepeda motor itu dianggap tidak miskin, padahal sekarang dia punya motor untuk ojek. Itu juga artinya masih miskin.
Kelompok Riskan Miskin
Kemudian oleh BPS definisi kemiskinan ini diperluas, misalnya Sebut Lukman Hakim Hasan, di Kota Salatiga ada 14 kriteria miskin dikembangkan, supaya cakupan orang miskin banyak.
“Kenapa, karena ketika krisis itu kadang-kadang orang kemudian jatuh miskin. Nah, kalau dia jatuh miskin siapa yang kemudian akan menanggungnya, sementara dia tidak masuk definisi yang miskin itu. sehingga yang tercakup dalam bantuan kemiskinan termasuk tidak hanya orang miskin tapi orang yang nyaris miskin ketika dia ada krisis yang masuk dalam kelompok miskin itu juga dibantu,” urainya.
Alasannya, bilang Lukman, Kenapa, karena sekarang data orang miskin itu by name by address. Gunanya, untuk pelayanan dari pemerintah tentang jaminan kesehatan untuk jamkesda.
“Jika kemudian orang miskin nanti ke Puskesmas kan harus by name by address. Jadi orang miskin itu sekarang terdata semuanya. Nah, kalau dia tidak terdata BPJS-Kesehatan maka harus bayar sendiri,” jelas Lukman.
Mendatang, dijelaskannya, Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan terintegrasi dengan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-e) yang juga dapat menjadi kartu pajak. Kemudian KTP-e juga nantinya dapat menjadi nomor Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang terintegrasi yang nanti sudah otomatis.
“Nah, kalau sudah seperti ini, ekonomi semakin bagus,” imbuhnya.
Esther Duflo Peraih Nobel Terinspirasi SD Inpres Soeharto
Ekonom Lukman Hakim Hasan mengisahkan perihal pertumbuhan ekonomi dunia dengan program pembangunan pemerataan pemerataan di era Presiden Indonesia Soeharto. Yaitu, tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menjadi penelitian profesor dari Departemen Ekonomi Massachusetts Institute of Technology (MIT), Esther Duflo.
Kisah Lukman, Esther Duflo dan suaminya Abhijit Vinayak Banerjee, dan temannya mareka, Michael Kremer meraih penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi tahun 2019 untuk kontribusi mereka mengenai kemiskinan global.
“Study case-nya Indonesia. Dia itu baru selesai mengambil doktor tahun 1999, 20 tahun kemudian dapat nobel ekonomi yang mengaji kemiskinan Indonesia. Yang dikaji adalah masalah pendidikan,” bukanya.
Lanjut Lukman menyebutkan tentang Esther, Abhijit, dan Michael yang meneliti program pendidikan di era Presiden Soeharto di tahun 1970-an.
“Jadi pada masa orde baru zaman Pak Harto itu ada program yang namanya SD Inpres, ketika saya SD Kelas VI itu saya lihat tiba-tiba ada SD baru di sampingnya. Namanya, SD Inpres. Waktu itu kenapa ada SD Inpres karena anak kecil usia sekolah waktu itu banyak sekali. Presiden Soeharto membuat SD Inpres ada 60 ribu sekolah se-Indonesia karena sekolah adalah cara paling mudah untuk mengurangi buta huruf. Dan memang kemudian, buta huruf berkurang orang dapat membaca, dapat menulis. Orang mampu masuk ke sektor formal,” ungkapnya.
Kemudian, ungkap Lukman, Esther menguraikan dalam penelitiannya bahwa di Indonesia ketika ada SD Inpres banyak hal itu membuat, kemudian, pada tahun 80-an, masyarakat sudah mulai masuk ke sektor industri.
“Apalagi kemudian dilanjutkan dari SD ke SMP dengan wajib belajar 9 tahun. Ya, sampai jauh ini kelihatannya sebagian besar penduduk Indonesia itu tamatan SMP hampir 50%. selanjutnya masuk belajar ke tingkat SMA, apalagi perguruan tinggi. Semakin banyak orang kemudian wajib belajar sampai SMA saja, itu kualitasnya akan semakin baik, apalagi sampai perguruan tinggi,” urai Lukman Hakim Hasan mengurai. [hir].