WahanaNews.co | Usai pendeklarasian Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, oleh Partai Nasdem sebagai Calon Presiden (Capres) yang akan diusung pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang, tiba-tiba muncul julukan "Nasdrun" yang didengungkan sejumlah buzzer di media sosial.
Hal ini ditanggapi Sekjen Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Raharja Waluya Jati.
Baca Juga:
Kubu Ganjar Tegaskan Tak Tertarik Dukungan FPI dan PA 212
Jati mengimbau kelompok masyarakat sipil untuk melawan kejahatan moral dalam bentuk apapun, termasuk pembuatan label terhadap seseorang yang dinilainya merupakan manifestasi sikap rasis, glorifikasi politik identitas, dan ekspresi kebencian bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
"Rasisme dan kebencian yang diumbar-umbar itu bertujuan untuk terus menciptakan segregasi politik guna menjaga kepentingan elektoral pihak tertentu pada Pemilu 2024. Tindakan tersebut membahayakan persatuan bangsa dan menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia yang bermartabat," ujar Raharja Waluya Jati, Senin (10/10/2022).
Menurutnya, ketidaksetujuan terhadap suatu kelompok atau figur adalah hal yang biasa.
Baca Juga:
Relawan GPGP Nilai Konsep Blue Economy Ganjar Strategis untuk Kesejahteraan Rakyat
Namun, ketidaksetujuan tersebut semestinya diungkapkan dengan cara yang sehat, seperti berargumen dan membantah atau mengkritik gagasan dan kebijakan yang tidak disepakati.
"Bukan dengan membuat cap atau label bernuansa rasis kepada pihak yang tidak disetujuinya," ungkapnya.
Menurutnya, pelabelan “Nasdrun” itu menunjukkan kekerdilan sikap dan ketidakmampuan bertarung di arena gagasan dan karya.
"Kami bersimpati dan memberikan dukungan kepada Nasdem yang telah membuka pintu perubahan dengan segala risiko politiknya," lanjutnya.
Jati menilai, selama ini upaya hukum belum terasa optimal dalam “menertibkan” ulah buzzer, tetapi bukan berarti publik harus pesimistis dan berdiam diri sehingga membiarkan kejahatan moral itu terus terjadi.
"Literasi politik kepada publik luas dengan mengembangkan politik berwatak Indonesia, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangkal 'keganasan' buzzer status quo," beber Jati.
SKI mengembangkan kegiatan literasi politik melalui Program Pendidikan Bernegara.
Program ini, selain bertujuan untuk menyemai sikap kritis warga terhadap narasi-narasi politik yang mengemuka di ruang publik, juga untuk mengingatkan pentingnya mengembalikan demokrasi Indonesia kepada watak emansipasinya.
Jati menegaskan, dalam Pendidikan Bernegara, warga memperoleh pemahaman mengenai lanskap politik dan tujuan bernegara secara tuntas.
"Mereka juga memperoleh pemahaman, mengapa narasi yang dikembangkan buzzer tidak sesuai dengan tujuan bernegara dan kepentingan menjaga kualitas demokrasi Indonesia, serta bagaimana strategi terbaik warga negara untuk menghadapinya," pungkas Jati. [gun]