Oleh ANDRE VINCENT WENAS
Baca Juga:
Novel Baswedan: Jokowi Harus Pilih Calon Pansel dan Dewan Pengawas KPK Berkualitas
POKOKNYA ruwetlah, ya memang ruwet sih jalan pikiran mereka yang asal menuduh tanpa dasar.
Artinya,
pertama, tidak ada faktanya alias tidak tahu (atau memang
gampang dibodohi).
Baca Juga:
Firli Mengundurkan Diri dari KPK, Novel Baswedan: Bakal Jadi Pola Jahat
Dan, kedua, memang
motifnya jahat, mau memfitnah dengan menyebar hoaks.
Isu yang
tercampur (atau asal dicampur), misalnya soal komparasi TKA China yang katanya bebas masuk Indonesia sementara ada
larangan mudik bagi warga sendiri.
Katanya
ini tidak adil.
Ini sama
sekali sesat pikir yang akut (gawat darurat), bahkan mungkin sudah kronis
(menahun) lantaran dipelihara terus.
Kesesatan
relevansi adalah jenis yang sering dipakai untuk propaganda kebohongan.
Bisa
lantaran kesesatan karena komposisi dan divisi, atau jenis argumentum ad ignoratiam (argumen dari ketidaktahuan).
Isu TKA
China ini jelas terkait soal kontrak kerja (proyek) yang
sudah disepakati kedua negara.
Prosedur
kesehatan (prokes) yang ketat pun diberlakukan agar para pekerja China yang jumlahnya terbatas serta ketat terkendali ini
bisa masuk ke proyek-proyek yang mesti segera mereka kerjakan sesuai jadwal
yang ada di kontrak.
Jelas
jumlah TKA China ini
tidaklah masif dan sangat bisa dikendalikan, baik oleh dinas maupun oleh
perusahaan.
Mereka
bukan mau mudik atau pelesiran.
Mereka
semua itu terintegrasi dalam kontrak kerja proyek pembangunan yang sudah
disepakati. Itu saja.
Ini
jelas berbeda dengan gerakan masif para pemudik dari segala daerah asal ke
segala penjuru tujuan.
Dengan
mengabaikan prokes, gerakan mudik secara masif ke segala arah ini jelas sangat
berpotensi menimbulkan ledakan klaster-klaster Covid-19 yang baru.
Dan ini
berpotensi besar mencelakakan semuanya!
Lagipula,
adalah prinsip pemerintahan dimana pun untuk selalu dan terutama adalah menjaga
keselamatan rakyatnya, salus populi
suprema lex esto.
Baik
rakyatnya paham atau belum (tidak) paham dengan kebijakan yang diambil
pemerintah.
Policy
bukan soal popularitas, tapi soal to do
the right things right!
Jadi,
janganlah kita gampang termakan propaganda bernuansa fitnah bodoh yang
mengatakan bahwa pemerintah tidak adil dengan membiarkan TKA China masuk versus dilarangnya warga sendiri untuk
mudik.
Ini
jelas menyesatkan, motif hoaksnya sangat jahat.
Hanya
sekedar mendiskreditkan kebijakan pemerintah yang kelihatannya seolah tidak
popular, padahal itu demi keselamatan bangsa.
Demi
kepentingan yang jauh lebih luas jangkauannya.
Sementara
itu, ada pula soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK yang akhirnya menghasilkan
75 orang gagal.
Di samping ada seribuan lebih karyawan KPK lainnya yang
berhasil lulus TWK.
Segelintir
yang gagal itu tidak dipecat, hanya dinonaktifkan saja.
Apakah
mereka ini bakal magabut (makan gaji
buta)?
Atau
bakal direlokasi ke posisi yang "lebih aman" secara ideologis untuk kemudian
"dicuci otak" agar normal kembali?
Kita
belum tahu juga.
Tentu
saja bintang lapangan di pihak yang gagal tes adalah Novel Baswedan.
Figur
yang memang kontroversial di lingkungan KPK.
Ditengarai
banyak kalangan yang curiga padanya soal "perlindungannya" terhadap
"saudaranya" di Balai Kota.
Sehingga
dengan dinonaktifkannya Novel Baswedan banyak pihak yang berharap agar Anies
Baswedan bisa segera ditangkap lantaran sudah tidak punya "pelindung" di KPK.
Ini juga
pemikiran yang agak sumir sebetulnya.
Lantaran
apalah peran seorang Novel Baswedan (polisi kelas bawahan) yang jadi penyidik
KPK yang de-facto (serta de-jure) juga cuma bawahan Firli Bahuri
(seorang Jenderal polisi) yang jadi Ketua KPK?
Lalu,
bagaimana ceritanya seorang Novel Baswedan bisa (mampu) "melindungi" penguasa
Balai Kota, Anies Baswedan?
Ya,
tentu saja kita juga mengerti dan paham betul bahwa banyak sekali pihak yang
sudah sebal, atau bahkan muak dengan gaya atau cara (kebijakan) Anies Baswedan
mengelola APBD DKI Jakarta.
Amburadul, kalau kata Ibu Megawati.
Tapi
kita mesti mengerti juga bahwa de-jure
hanya parlemenlah yang bisa memakzulkan gubernur.
Adalah
parlemen yang mempunyai hak, mulai dari interpelasi (bertanya) sampai bisa memakzulkan
gubernur.
Tentu
setelah melewati proses (prosedur) yang ada.
Sementara
KPK, hanya bisa memproses gubernur (atau pejabat mana pun) jika terindikasi
terlibat dalam kasus korupsi atau gratifikasi.
Namun
bagaimana KPK bisa menggiring gubernur ke dalam ranah kasus korupsi kalau semua
kebijakannya telah disetujui oleh parlemen?
Mana
bisa kalau sudah dilegalisasi oleh DPRD-nya?
Sementara
ini, apa pun kebijakan yang diambil oleh Anies Baswedan telah mendapat
persetujuan parlemen Jakarta.
Misalnya
saja soal program Formula-E yang sudah disetujui oleh DPRD DKI Jakarta periode
yang lalu (2014-2019).
Dan
tentu banyak program lainnya yang dicurigai oleh sementara kalangan sebagai
program bancakan berjamaah antara eksekutif dan legislatif.
Kita
masih ingat bukan, sejak akhir tahun 2019 dimana kader-kader PSI mulai
mengorek-ngorek APBD DKI Jakarta untuk periode tahun 2020, barulah disitu
terbongkar skandal lem aibon, computer, ballpen, formula-e, dan lain
sebagainya.
Padahal
tahun-tahun sebelumnya (Anies Baswedan berkuasa di Balai Kota mulai tahun 2017)
lalu sampai akhir tahun 2019 tidaklah pernah terdengar protes dari anggota
parlemen (parpol-parpol) yang ada ada waktu itu.
Baru
sejak pileg 2019 berakhir dan kader PSI masuk ke parlemen Jakarta banyak sekali
skandal anggaran yang terbongkar.
Jadi,
kalau soal amburadulnya Anies Baswedan, kita harus mengerti juga bahwa pihak
yang selama ini "melindungi"-nya
adalah kekuatan-kekuatan politik oligarkis yang ada di parlemen Jakarta.
Yaitu, parpol-parpol yang ada di Kebon Sirih minus PSI. Itu
jelas!
Kita pun
masih ingat, semenjak PSI mempersoalkan banyak mata anggaran yang aneh-aneh,
soal detail anggaran yang tidak pernah diunggah lagi di website resmi pemda,
soal rancangan APBD yang tidak pernah jauh-jauh hari disampaikan kepada anggota
parlemen untuk dibahas secara mendalam.
Sampai
ke soal inisiatif PSI untuk menginterpelasi yang selalu ditolak oleh
fraksi-fraksi (parpol) lain, dan akhirnya PSI ditinggal sendirian lantaran
semua fraksi lain walk-out dalam
sidang paripurna.
Katanya
lantaran sakit hati rencana bancakan mereka lewat usulan kenaikan tunjangan
jumbonya ditolak.
Ini
membuat kader-kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) seperti William Aditya
Sarana, Anthony Winza, Eneng Malianasari, dan kawan-kawannya melongo.
Ada apa
sih dengan para senior yang katanya mewakili rakyat?
Jadi
kalau kita kembali ke soal amburadulnya Anies Baswedan, yang de-facto serta de-jure "melindungi" Anies itu ternyata bukanlah seorang yang
bernama Novel Baswedan, tapi justru institusi DPRD DKI Jakarta minus fraksi
PSI!
Selama
parlemen Jakarta tidak mau menginterpelasi sampai akhirnya memakzulkan Anies,
ia akan terus berkuasa di Balai Kota.
Atau
kecuali KPK punya kasus korupsi yang solid (kebijakan yang tidak disetujui atau
didukung oleh mayoritas di DPRD misalnya, atau penggelapan anggaran) yang bisa
membuat seorang gubernur memakai rompi oranye.
Dan soal
ini KPK sebetulnya sudah punya pengalaman tentang jenis kasusnya dengan
beberapa gubernur atau kepala daerah level bupati dan walikota.
Atau
bahkan level Menteri sekali pun.
Ada pun
peran Novel Baswedan di KPK bisa saja ada, terutama terkait pengaruhnya yang
kabarnya besar di Wadah Pegawai (WP) KPK, yang katanya juga terindikasi radikal
itu.
Lalu
katanya waktu itu Anies bisa jadi gubernur juga lantaran dikerek oleh isu SARA
oleh kaum yang juga terindikasi radikal. Itu saja.
Sehingga
anggapannya ada semacam proximity
(kedekatan) antara keduanya selain punya marga yang sama.
Memang
soal isu radikalisme yang telah merasuk ke banyak instansi pemerintahan itu
juga soal yang penting, tapi itu soal yang lain lagi.
Jangan
lupa, waktu itu tahun 2017, masih di periode pertama administrasi Presiden Joko
Widodo, melalui Mendagri saat itu Tjahjo Kumolo, sudah diperingatkan kepada
seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Sipil Negara (PSN) yang anti
(menolak) Pancasila supaya mundur saja.
Kita
tentu sepakat dengan itu.
ASN/PSN
itu direkrut oleh negara seharusnya juga aktif menjaga ideologi negara.
Dalam
praktiknya, mereka mesti mengimplementasikan empat pilar
kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Maka, sudah
sepatutnya jika mereka mesti berani untuk menentukan sikap.
Sikap
terhadap siapa pun yang mencoba mengganti atau melawan Pancasila yang sudah
final sebagai ideologi negara.
Sehingga
konsekuensinya, jika masih ada saja ASN/PNS yang melawan Pancasila, maka
meraka seharusnya mengundurkan diri saja. Ya mesti konsekuen dong.
Dulu di
tahun 2017 masih berupa peringatan.
Namun
sekarang di tahun 2021 (periode kedua Jokowi), peringatan itu sudah menjadi
tindakan nyata untuk "membersihkan" instansi pemerintah di mana pun dari
anasir-anasir radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila.
Salah
satunya lewat cara TWK (Tes Wawasan Kebangsaan).
Sementara
pemerintah bekerja keras untuk itu, kita juga mesti terus mempertajam daya
kritis kita.
Jangan
mau lagi dikibuli lewat propaganda hoaks yang membodohi serta cenderung
memfitnah.
Hati-hatilah
dengan propaganda sesat pikir soal TKA China yang berseliweran dan isu Novel/Anies Baswedan
yang ditiupkan oleh sementara pihak hanya untuk mengalihkan perhatian kita dari
isu yang sesungguhnya jadi premis utamanya.
"It is easier to fool people than to convince
them they have been fooled." �" Mark
Twain.
Banjarmasin,
15/05/2021
(Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi-Politik)-dhn