WahanaNews.co | Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar lagi sidang perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian materiil Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. Agenda kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli dari Korea Selatan dan Thailand soal pemanfaatan ganja untuk kesehatan.
Dari keteranganya, Miss Pakakrong Kwankhao selaku pharmacis ganja asal Thailand menceritakan pengalaman penggunaan ganja di negaranya yang dulu memang dikonsumsi sebagai pelengkap makanan.
Baca Juga:
Pria di Subulussalam Diringkus Polisi, Sembunyikan Ganja di Belakang Rumah
"Saya ingat waktu saya masih muda waktu itu masih legal, tapi saya biasa melihat daun ganja dimasukkan ke sup atau mie ya. Dan daunnya biasa dimakan. Jadi pengetahuan seperti itu pun sudah ada, sebelum negara kami memutuskan untuk melegalisasi cannabis (ganja) medis," kata Miss saat sidang melalui seorang penerjemah disiarkan lewat youtube Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/10).
Namun, setelah diterapkan ganja untuk keperluan medis, lantas Thailand mengatur dan mengawasi melalui badan narkotika nasionalnya. Dengan persyaratan penggunaan tidak digunakan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan.
"Kami tidak menggunakan cannabis untuk semua penyakit dan kami tidak menggunakan ini sebagai pilihan pertama ketika seseorang didiagnosis, kami tidak langsung pertama meresepkan cannabis ini karena ketidak cukupan bukti," kata Miss.
Baca Juga:
Sat ResNarkoba Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Terduga Pelaku Pemilik Narkotika Jenis Ganja
"Namun setelah perawatan standar gagal, seperti misalnya dalam perawatan valiatif, epilepsi, farkinsen, multipel skerosis. Baru kami akan menggunakan cannabis medis. Ya dia memang obat jadi kami tidak membiarkan siapa saja atau sembarang orang untuk menghasilkan ini untuk obat-obatan," lanjutnya.
Sehingga Thailand, kata Miss, telah membentuk penggunaan ganja dengan skema pengelolaan hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah yang harus mendapatkan izin sebelum penanaman, pembudidayaan, produksi hingga pemberian kepada pasien.
"Dan untuk itu mereka harus mendapatkan lisensi atau izin dari pemerintah, jika tidak mereka tidak boleh melakukan kegiatan tersebut," terangnya.