WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) heran, lantaran disebut melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam menangani kasus Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe. Sikap itu diungkapkan menanggapi langkah pihak keluarga Lukas Enembe yang hendak mengadukan KPK ke Komnas HAM.
"Kami ingin tegaskan seluruh proses di dalam penanganan perkara, prinsip kami tidak akan pernah melanggar hukum," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Ali menegaskan, prosedur serta aturan hukum selalu ditaati oleh KPK. Dia menyampaikan, seluruh kerja KPK dalam menuntaskan sebuah perkara memiliki pijakan hukum.
Baca Juga:
Eks Pimpinan KPK Mengaku Dengar Kabar Praktik Jual Beli Remisi Napi Koruptor
"Sehingga kami juga tidak paham kemudian apa yang disampaikan oleh pihak keluarga ataupun penasihat hukumnya terkait hal dimaksud, melanggar HAM-nya di mana? Justru kami menjunjung tinggi HAM," ujar Ali.
KPK juga menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan hak para tersangka, khususnya dalam hal pemenuhan kesehatan. Ali juga menyampaikan, pihaknya tidak pernah memaksa Lukas saat agenda pemeriksaan, meski KPK punya dokumen menyatakan yang bersangkutan fit untuk menjalani proses hukum.
"Artinya bisa dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan pada tingkat penyidikan bahkan sampai proses persidangan," tutur Lukas.
Baca Juga:
Dugaan Korupsi Fly Over Pemprov Riau, KPK Larang 5 Orang ke Luar Negeri
Disampaikan pula, ada standar yang mesti diperhatikan dalam memberikan layanan kesehatan ke seorang tersangka. Hal itu menjadi ranah dari tim medis untuk menentukan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi Lukas.
"Saya kira hak-haknya sudah terpenuhi semua. Kami juga dampingi dokter Rutan KPK termasuk dokter pribadi kami beri kesempatan untuk turut mengawasi, melihat langsung keadaan tersangka LE (Lukas Enembe) yang saat ini di RSPAD," ungkap Ali.
Diketahui, pihak keluarga Lukas mengadukan KPK ke Komnas HAM. Mereka menyampaikan aduan karena Lukas diklaim tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan selama ditahan.
KPK menetapkan Lukas sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Selain Lukas, KPK juga menetapkan Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka sebagai tersangka pemberi suap. Rijatono diduga menyuap Lukas dan sejumlah pejabat Pemprov Papua agar bisa memenangkan sejumlah proyek infrastruktur.
Atas ulahnya, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [rna]