WahanaNews.co | Praktisi hukum, David
Tobing, mempertanyakan pernyataan Menteri Kominfo, Johnny G Plate, yang
mendukung Mahkamah Agung (MA), kepolisian, kejaksaan, dan kementerian terkait
untuk menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas
dalam penafsirannya.
Menurutnya, langkah itu akan menjadi sebuah kesia-siaan. Karena, sebagai
praktisi hukum, ia tidak mendengar apa yang disebut dengan pedoman interpretasi
hukum.
Baca Juga:
DPR Ketok Palu Revisi UU ITE, Simak Poin Perubahannya
"Pedoman tersebut bukanlah suatu norma hukum. Sehingga, bila tetap
dibuat, sudah pasti tidak mengikat, karena bukan peraturan perundangan,"
katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi pada Kamis
(18/2/2021).
Seharusnya, lanjut David, yang dilakukan adalah meninjau kembali UU ITE
berdasarkan hierarki
peraturan perundangan,mulai
dariUU, Peraturan Pemerintah,
selanjutnya dengan Peraturan Menteri, dan
seterusnya.
Selain itu, David mengatakan, interprestasi dari
batang tubuh UU ITE sudah tercantum pada bagian Penjelasan.
Baca Juga:
PLN Katakan Produksi Hidrogen Hijau Jadi Bahan Bakar Alternatif di Masa Depan
"Dalam Lampiran
II UU Nomor 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15/2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,dinyatakan, Penjelasan
berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh," katanya.
Maka, lanjut David, Penjelasan hanya
memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh, yang bertujuan menghindari terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Lebih lanjut, David meminta agar pembentuk UU mempertegaspenjelasan dari pasal-pasal yang
dinilai bermasalah bagi publik itu melalui revisi UU ITE,
sehingga tidak terjadi multitafsir dalam implementasi para penegak hukum.
Ia menjelaskan, dalam teori hukum, dikenal beberapa
istilah "metoda interpretasi hukum", seperti hermaunetik, gramatikal, historis,
dan lain-lain.
"Pertanyaannya, metoda interpretasi mana yang mau
dipakai? Apakah semuanya mau dipakai dalam pedoman?" cetusnya.
Apalagi, David mengingatkan, metoda interpretasi hukum
itu sendiri sebetulnya adalah domainnya hakim.
Bahkan, menurutnya, hakim pun "dibatasi" dalam memakai
hak interpretasi itu.
Hakim hanya "boleh" melakukan interpretasi terhadap
pasal-pasal yang tidak jelas, dan itu pun berbeda di setiap kasusnya.
"Maka, saya mengingatkan agar para Menteri dan
kelembagaan yang terkait dengan UU ITE tidak membuat istilah-istilah yang tidak
dikenal dalam hukum," katanya.
Ia mengaku sangat setuju dengan saran Presiden Jokowi,
yang menyebutkan kalau memang UU ITE itu banyak pasal karetnya, maka harus
direvisi.
"Jadi, langkah paling tepat itu adalah revisi UU ITE,
terutama terhadap pasal-pasalnya yang dianggap bermasalah, sesuai mekanisme
perubahan UU, demi kepastian hukum," pungkas David. [dhn]