WAHANANEWS.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil mengkritik rencana penambahan kewenangan kepada lembaga penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan serta lembaga militer TNI melalui Revisi Undang-Undang (RUU).
Koalisi sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan.
Baca Juga:
PDIP Sebut Pramono Jalan Tengah Kubu Ahok dan Anies di Pilgub 2017
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan saat ini saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan.
Apalagi, kata dia, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan.
"Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya," kata Julius dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (9/2).
Baca Juga:
Anies Gagal Maju Pilkada Jakarta, RK-Suswono Resmi Didukung 15 Partai
Ia mencontohkan kasus di Kejaksaan Agung terkait korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap dari buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.
Sementara itu, sejumlah anggota TNI juga terlibat dalam aksi korupsi pada jabatan sipil seperti kasus yang menyeret mantan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Henri Alfiandi.
Polri yang merupakan lembaga penegak hukum juga terseret kasus pemerasan oleh anggotanya terhadap sejumlah warga negara Malaysia konser DWP di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, Julius khawatir apabila ketiga RUU lembaga itu disahkan, hanya akan menambah daftar panjang penyalahgunaan wewenang.
Ia mengatakan penambahan kewenangan juga bisa membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia jika akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
"Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka," ujarnya.
Atas dasar itu, koalisi mendesak pengambil kebijakan yakni DPR dan pemerintah mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum.
Menurut koalisi, pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
Koalisi juga mendesak penguatan pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.
"Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup," kata Julius.
Ia mengatakan reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen.
"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI," katanya.
DPR memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025. Sementara itu, pada tahun lalu, DPR juga telah menerima Surat Presiden (Surpres) untuk pembahasan RUU TNI-Polri. Namun pembahasannya ditunda.
[Redaktur: Alpredo Gultom]