"Sekarang ini ideologi dalam partai politik itu sifatnya adalah transaksional, jadi ideologi yang ada di partai politik itu seperti pita. Kedua ujung pita tersebut bisa bertemu untuk menghasilkan sesuatu dalam lingkungan masyarakat" ujar Didik.
Menurutnya masyarakat selalu berinteraksi dan bertukar pikiran satu sama lain. Maka dari itu, manusia dianggap institusi pertukaran (exchange).
Baca Juga:
Forum Paguyuban Madina Gelar Acara Seminar
"Kita belajar komunikasi itu sebagai institusi pertukaran. Komunikasi politik adalah pertukaran antara law maker dengan masyarakatnya. Dalam perdagangan internasional pertukaran antara importir dengan eksportirnya. Dan pemilu adalah para calon dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, ilmu sosial dianggap exchange" tambahnya.
Narasumber pertama, Erik Ardiyanto menyatakan bahwa melalui buku ini kita bisa belajar dari tokoh-tokoh politik seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez, dan Jeremy Corbyn. Menurut Erik, mereka bertiga adalah politisi sukses yang menarasikan kembali ide-ide sosialisme modern ke publik.
"Hingga kini, proses negasi politik sosialisme sebagai alternatif atas politik kapitalisme terus hilang di benak publik karena distorsi media-media dan aktor-aktor politik yang tidak menginginkan ide itu terwujud, tetapi tidak dengan 3 tokoh tersebut" ujarnya.
Baca Juga:
Forum Komunikasi STM Kota Perdagangan Gruduk PT Lonsum Bahalias Menuntut Pengadaan Lahan Wakaf
Ia juga berharap melalui buku yang ditulisnya menjadi semacam pembelajaran untuk membangun keyakinan kepada para aktivis mahasiswa bahwa dengan bermodal ide dan gagasan, seorang aktivis bisa sukses dalam kontestasi politik seperti ketiga tokoh tersebut.
Narasumber kedua, Abdul Malik Gismar, memberikan pandangan tentang cara kita membaca media menuju pemilu di tahun 2024. Ia berpendapat bahwa para pengguna media sosial jangan terjebak ke dalam Echo Chamber yang hanya berisikan potongan-potongan dari sebuah narasi yang digunakan untuk mempolitisir agenda-agenda di publik.
"Kita jangan terjebak oleh informasi di media sosial yang terus memberikan informasi berdasarkan algoritma. Hal itu berpotensi berada dalam lingkup Echo Chamber dimana kita enggan melihat suatu informasi yang nyata dan tertutup oleh keyakinan kita saja." ujar Abdul Malik.