WahanaNews.co | Terdapat delapan poin pengaduan atau laporan dari 75 pegawai
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan
Kebangsaan (TWK).
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), Asfinawati, yang
mendampingi perwakilan dari 75 pegawai tersebut ke Komnas HAM RI, menjelaskan, pertama adalah adanya dugaan
pelanggaran pembatasan terhadap hak asasi manusia terkait TWK tersebut.
Baca Juga:
Polri Terbitkan Perpol Terkait Perekrutan 57 Mantan Pegawai KPK Jadi ASN
Kedua, kata dia, dugaan pelanggaran
terkait hak atas perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.
Asfinawati menjelaskan, dugaan tersebut muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan yang
dijawab oleh para pegawai KPK yang tidak lolos dan pegawai KPK lain yang lolos
dengan jawaban sama.
Ketiga, kata dia, ada dugaan
pelanggaran terhadap hak berserikat dan berkumpul.
Baca Juga:
TWK KPK, Saut Situmorang: Presiden Kita Salah Mikir
Hal itu disampaikannya usai
mendampingi perwakilan 75 pegawai KPK menyerahkan laporan terkait TWK dan alih
status pegawai KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kepada Komisioner Komnas
HAM di Kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Senin (24/5/2021).
"Kita tahu, sejak 2019 dan sebelumnya,
teman-teman wadah pegawai ditarget, dan itu ramai sekali, salah satunya ketika ada revisi Undang-Undang KPK. Meski di
revisi itu tak ada tentang TWK, tapi ternyata nyaris seluruh pengurus KPK ini
dinyatakan tidak lulus, terutama pengurus-pengurus
hariannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Sekjen, itu habis
semua," kata Asfinawati.
Keempat, kata dia, ada dugaan
pelanggaran terhadap pembela HAM, yakni Novel Baswedan, yang juga menjadi salah satu di antara 75 pegawai KPK yang
dinyatakan tidak lolos TWK.
Kelima, ada dugaan pelanggaran
terhadap hubungan yang adil pada pekerjaan dalam konteks dasar hukum,
hak, dan kewajiban 75 pegawai KPK setelah TWK.
Keenam, kata Asfinawati, ada dugaan
diskriminasi terhadap perempuan dalam proses tersebut.
"Banyak pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat menjadi pelecehan seksual dan ada pegawai perempuan KPK yang
sampai menangis di dalam tes itu, karena dikejar tentang persoalan-persoalan personal yang saya yakin teman-teman tahu apa pertanyaan
itu, yang seksis dan bersifat diskriminatif," kata Asfinawati.
Ketujuh, adanya
dugaan stigmatisasi terhadap 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
"Tak hanya menutup mereka bisa
diangkat menjadi ASN pada KPK, tapi juga akan mempengaruhi kehidupan
sosial, pendidikan anak-cucunya, dan
berkiprah di pemerintahan setelah ini. Jadi, stigma
ini parah sekali, dan dalam kasus ekstrem, dia
bisa menjadi alasan penganiayaan terhadap mereka yang distigma itu, bahkan pembunuhan," kata Asfinawati.
Terakhir, kata dia, ada tendensi yang
sangat kuat adanya pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat.
Menurut Asfinawati, sebagian dari 75 pegawai KPK pernah menandatangani petisi menolak
Ketua KPK, Firli Bahuri, menjadi pemohon judicial
review dalam revisi Undang-Undang KPK.
Artinya, kata Asfinawati, 75 pegawai
KPK tersebut adalah mereka yang kritis.
Padahal, kata dia, etika untuk pegawai
KPK berbeda, karena yang utama bukan patuh terhadap atasan, melainkan mampu memberantas korupsi dengan menjaga independensi.
"Karena itu, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dan bahkan diperbolehkan
dalam kode etik. Dan, TWK ini persis menyerang hal tersebut, dan karena itu ada kaitan erat dengan pelemahan pemberantasan
korupsi," kata Asfinawati. [dhn]