Menurut tim kuasa hukum, polisi terkesan memaksakan kehendak. Dilihat dari pasal-pasal
pidana yang diterapkan ke Rizieq.
Dia mengatakan, Pasal 93 UU Karantina
sejak lama disadari memiliki kelemahan. Karena cenderung tidak memiliki
kepastian hukum.
Baca Juga:
HRS Sebut ‘Negara Darurat Kebohongan’, Pengacara: Itu Dakwah
"Bersifat pasal karet, dan tidak
selaras dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana itu, bisa ditarik
kesana-kemari dan tampaknya terbukti menimpa HRS," katanya.
Akibatnya, kata Sugito, sanksi pidana
penjara yang dapat diakumulasi dengan sanksi denda menjadikan norma hukum ini
tidak sesuai dengan asas kepastian hukum atau lex certa yang juga kurang tegas dalam mengatur atau lex stricta.
"Bahayanya, pelakunya bisa saja cuma didenda
secara administratif atau dipenjarakan, atau bisa juga kedua-duanya. Semua
tergantung pada aparat penegak hukum," katanya.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas, Ini Respon Pecinta HRS di Majalengka
Menurutnya, seharusnya dalam
pemidanaan ini berlaku prinsip ultimum
remedium. Sanksi pidana penjara sebagai pilihan terakhir apabila sanksi
administratif masih bisa diberikan.
"Bukankah jika sudah ada aturan
pidana khusus, maka aturan pidana umum dapat dikesampingkan (lex specialis drogat legi generali). Pasal 93 UU Karantina Kesehatan sudah menentukan 'setiap orang
yang tidak mematuhi karantina Kesehatan' dan dan/atau menghalang-halangi
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan diancam dengan pidana sebagaimana dalam
norma pasal ini," jelasnya.
"Dengan demikian ketentuan pidana
tentang penghasutan dimuka umum dengan mengumpulkan orang yang dikaitkan dengan
Pasal 160 KUHP, serta melawan perintah undang-undang sebagaimana Pasal 216 KUHP
sudah tidak dapat dipergunakan karena sudah termaktub dalam frase
menghalanghalangi penyelenggaraan kekarantina kesehatan Pasal 93 UU Karantina
Kesehatan," tambahnya.