WahanaNews.co | Aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan keadilan, justru mereka yang dituduh melakukan korupsi dimanfaatkan menjadi lahan dan dijadikan ATM berjalan. Sementara status mereka yang dituduh melakukan korupsi tidak jelas.
Modusnya, kasus yang sudah menjadi rahasia umum diangkat kepermukaan, hal semacam ini menjadi fenomena, oknum aparat penegak hukum mengandalkan kekuatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Baca Juga:
Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas: Rahasia Kotor di Balik Mafia Hukum Sugar Group
Terungkapnya Hakim Agung menjadi tersangka suap membuat kasus pemerasan yang dilakukan oknum Jaksa dan Polisi menjadi pembahasan publik.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengungkapkan, modus pemerasan yang dilakukan oknum Jaksa di daerah diketahui berdasarkan laporan yang masuk dan modus pemerasan tersebut sebagai fenomena “Industri Hukum” yang mencul di daerah-daerah.
Mahfud MD mengatakan bahwa, modus pemerasan yang disebutnya dengan fenomena “Industri Hukum” banyak terjadi di daerah-daerah terkait dengan proyek pemerintah. Aturan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan maksud untuk meraup keuntungan pribadi.
Baca Juga:
Rp1 Miliar untuk Ganggu Hukum: Ketua Tim Buzzer Masuk Jaringan Pengacau Penegakan Korupsi
Dalam penjelasannya, modus pemerasan dengan fenomena “Industri Hukum” tersebut muncul setelah menerima laporan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmiji.
Dia (Sutarmiji) mengaku resah akibat ulah oknum jaksa yang tiba-tiba muncul untuk melakukan pemeriksaan.
Kasus korupsi yang dituduhkan oleh oknum Jaksa tersebut terkait dengan proyek pembangunan yang sedang berjalan.
Proyek sedang berjalan sudah diperiksa, Jaksa memanggil katanya korupsi, sehingga orang menjadi takut melaksanakan proyek pembangunan. Tidak ada kepastian hukum ada atau tidak tersangka setelah jaksanya melakukan pemeriksaan dengan tuduhan melanggar hukum.
“Dibilang melanggar hukum, kamu korupsi ini, diperiksa terus, namun tidak pernah ada keputusan, apakah tersangka atau tidak, hanya diperas saja, polisi juga melakukan hal yang sama”, ujar Mahfud.
Mahfud mengatakan, sebelumnya sudah ada aturan dan kesepakatan bersama bahwa, terhadap proyek pemerintah yang sedang berjalan, Kejaksaan maupun Polisi tidak boleh melakukan pemeriksaan sebelum masa anggaran berakhir.
Kalau ditemukan permasalahan, aparat penegak hukum terlebih dahulu melaporkan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Jangan Jaksa dan Polisi langsung ke Pimpinan Proyek (Pimpro) atau langsung kepada yang menyetor barang, tindakan tersebut sangan mengganggu”, tambah Mahfud.
Fenomena “Industri Hukum” tidak hanya terjadi di Kalimantan Barat saja, tetapi juga ditemukan di Provinsi lain termasuk di Sulawesi Selatan.
Di berbagai daerah juga begitu, nah ini juga jadi manjadi masalah. Itu moralitas yang di langgar oleh aparat penegak hukum, tentu tidak semua aparat penegak hukum seperti itu, tapi gejala itu terjadi, lanjut Mahfud.
Mahfud lebih lanjut menjelaskan bahwa, fenomena Industri Hukum” juga pernah membuat pegawai ketakutan hingga enggan mendaftar sebagai pejabat dinas tertentu di Yogyakarta.
Kalau tidak salah dulu di Yogyakarta perlu beberapa orang pejabat dinas, misalnya yang diperlukan 10 orang, tapi yang mendaftar cuma 6 orang.
“Kenapa, karena takut, orang disuruh jujur tapi APIP nya tidak benar, suruh laporan yang benar tapi disuruh menyuap agar tidak diperiksa dan dijadikan tersangka korupsi”, tambahnya.
“Tanpa ada landasan moral dan etika, sebab, produk hukum berpotensi dijadikan lahan industri dengan instrumen pasal yang telah dipersiapkan untuk keuntungan pihak tertentu”.
Dalam industri tersebut, bahan mentah dijadikan matang, sehingga hukumnya, tangkap saja dengan pasal ini, kalau ini menyuap berlakukan pasal ini. Ada pasalnya semua, kalau mau diperas uang sekian pasalnya ini, kalau ingin bebas pasalnya ini.
Fenomena ini dibahas bersama Kemendagri, Kejaksaan Agung, Polri, Kemenpan RB serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam upaya pembersihan diri dan menghentikan praktek industri hukum mulai dari tingkat atas.
Ketegasan dan keteguhan sikap seorang pimpinan dalam upaya penegakan hukum diperlukan untuk memberantas praktek industri hukum. Namun jangan berharap pemberantasan industri hukum dapat berjalan mudah seperti membalikkan telapak tangan dan dalam waktu singkat. Sebab, praktek tersebut sudah mengakar hingga ke tingkat di daerah-daerah.
Kalau secara struktural, saya misalnya, pejabat setingkat menteri, disekeliling saya harus bersih. Lalu kepala wilayah harus bersih, Bupati harus bersih, mulai begitu dulu dan itu tidak mudah, ujar Mahfud MD, artikel ini sebelumnya sudah dilansir Kompascom. [jp/jup]