WahanaNews.co, Jakarta - Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa telah mengajukan permintaan kepada Komnas HAM untuk memanggil Budiman Sudjatmiko guna memberikan keterangan mengenai peristiwa penculikan yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Permintaan ini disampaikan oleh koalisi sebagai bagian dari diskusi yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional pada Rabu (30/8/2023).
Baca Juga:
TKN Hitung Makan Siang dan Susu Gratis Prabowo Butuh Rp120 Triliun di Tahun Pertama
Al Araf, yang merupakan Ketua Centra Initiative dan anggota dari koalisi tersebut, menjelaskan bahwa semua individu yang memiliki informasi terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa harus dipanggil untuk membantu penyelidikan kasus ini.
Termasuk di dalamnya adalah Budiman, yang sebelumnya telah menyatakan bahwa para korban penculikan telah dikembalikan.
Jika Budiman Sudjatmiko menyebutkan korban penculikan sudah dikembalikan, lanjutnya, maka Komnas HAM harus memanggil Budiman.
Baca Juga:
Program Makan Siang dan Susu Gratis Prabowo, Pengusaha Wanti-wanti Jerat Impor
"Komnas HAM juga bisa panggil para purnawirawan, seperti Kivlan Zen yang menyatakan tahu kasus penculikan dan dimana mereka yang hilang. Kalau gak mau datang, harus panggil secara paksa," kata Araf dalam keterangannya, melansit Tempo.co, Kamis (31/8/2023).
Araf menyatakan bahwa para individu yang menjadi korban penghilangan paksa adalah individu yang dengan tekun berjuang untuk mendukung proses demokratisasi yang melawan pemerintahan Soeharto dan pemerintahan yang bersifat militeristik.
Menurutnya, situasi kebebasan dan demokrasi seperti yang kita alami saat ini adalah hasil dari kontribusi para korban yang telah menjadi martir dalam perjuangan ini.
Sehingga, pihaknya meminta masyarakat untuk terus mendorong pengusutan kasus ini diusut secara tuntas.
"Khusus kasus penghilangan orang secara paksa, energi kita gak boleh habis. Kita semua memiliki utang besar terhadap mereka yang hilang akibat dari praktik kekerasan negara pada masa itu," kata Araf.
Selanjutnya, Araf menjelaskan bahwa tindak kejahatan penghilangan orang secara paksa merupakan jenis kejahatan yang berkelanjutan.
Meskipun terdapat pengakuan bahwa korban telah dikembalikan, hal tersebut tidak menghapuskan kejahatan itu secara keseluruhan, dan sifat kejahatannya masih berlaku selama pelaku tidak dihadapkan pada proses hukum.
"Komnas HAM seharusnya memanggil orang yang ngomong telah melakukan penculikan. Komnas HAM melakukan penyelidikan, itu bukti nyata," kata dia.
Dalam ranah politik Hak Asasi Manusia (HAM), Araf mengungkapkan bahwa ada konsep lustrasi atau pernyataan yang menyatakan bahwa individu yang terlibat dalam pelanggaran HAM selama era Orde Baru tidak layak untuk menjabat dalam posisi penting, termasuk mencalonkan diri sebagai calon presiden. Araf menyatakan bahwa regulasi terkait hal ini sudah termaktub dalam Undang-Undang.
Adapun tujuan dari ketentuan ini agar ada pemisahan antara masa lalu dan masa depan sehingga kesehatan politik terjamin. Ia pun membantah pernyataannya ini bernuansa politik.
Di sisi lain, anggota Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang juga menjadi bagian dari Koalisi, Sri Hidayati, setuju dengan pandangan yang diungkapkan oleh Araf terkait larangan bagi pelaku kejahatan penculikan pada masa Orde Baru untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh fakta bahwa penyelidikan terhadap kasus-kasus penghilangan paksa yang dilakukan di bawah kepemimpinan mereka yang tidak memiliki latar belakang dalam kasus HAM memerlukan waktu yang sangat lama dan belum menunjukkan tanda-tanda selesainya.
"Apalagi ke depannya jika dipimpin oleh pelaku dalam kasus tersebut. Tidak mungkin mereka membongkar diri sendiri, karena sama aja dengan bunuh diri," kata dia.
Sri menyatakan tekadnya untuk tidak berdiam diri dan akan terus berjuang untuk mencari keadilan dalam kasus penghilangan orang secara paksa.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang juga bersikeras untuk mengejar penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]