WahanaNews.co, Jakarta - Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan kesediaannya untuk jadi perisai hukum Presiden Joko Widodo, setelah masa jabatannya berakhir.
Menurut Yusril, para mantan presiden di Indonesia sering kali jadi sasaran serangan hukum setelah masa jabatan mereka berakhir.
Baca Juga:
Murka di Hadapan Rocky Gerung, Inilah Profil Silfester Matutina
Mengutip Tempo, Yusril menyebutkan contoh konkret di mana mantan Presiden Indonesia, seperti Soeharto, mengalami serangan setelah tidak lagi menjabat. Yusril mengungkapkan bahwa dia sendiri telah menjadi pendukung hukum bagi Soeharto dalam situasi serupa.
"Dari pengalaman saya, saya tahu bagaimana menghadapi situasi Pak Harto. Ketika beliau berhenti menjadi presiden dan tidak lagi menjabat, dia dihadapkan pada berbagai tuntutan dari masyarakat pada saat itu. Namun, akhirnya tidak ada tindakan hukum yang diambil terhadap beliau," ujar Yusril di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, pada tanggal 2 Agustus 2023.
Yusril berharap agar serangan serupa tidak terjadi pada Jokowi atau mantan presiden lainnya. Dia menekankan pentingnya menghormati sosok presiden baik saat mereka masih menjabat maupun setelah masa jabatan mereka berakhir.
Baca Juga:
Viral Debat Panas Rocky Gerung Vs Silfester Matutina di Layar Kaca
"Saya berharap itu juga terjadi pada Pak Jokowi maupun mantan-mantan presiden yang lain semua kita hormati. Dan kalau saya diminta untuk ikut menangani permasalah permasalahan beliau, saya siap melakukannya," kata Yusril.
Sebelumnya, Rocky Gerung mengusulkan bahwa akan bijaksana bagi Presiden Jokowi untuk menggunakan kecakapan hukum Yusril Ihza Mahendra sebagai bentuk perlindungan hukum ketika tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Menurut Rocky, pendekatan ini dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengatasi fenomena politik "balas dendam" yang sering terjadi setelah seorang politikus selesai masa tugasnya.
Rocky berbicara dalam sebuah acara diskusi publik yang berjudul "Harkat, Martabat, dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden" di Cikini, Jakarta Pusat,Jumat, (1/9/2023).
Dia mengemukakan pandangannya bahwa politik di Indonesia memiliki dasar dari perasaan dendam, yang telah ada sejak masa pemerintahan Ken Arok hingga fenomena yang terjadi antara presiden-presiden di Indonesia.
Dia memberi contoh, seperti pemakzulan Presiden Gus Dur dan ketidakharmonisan hubungan politik antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Rocky Gerung, kemungkinan politik balas dendam ini dapat terjadi saat Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Potensi serangan semacam itu bisa datang dari presiden terpilih berikutnya, termasuk dalam skenario di mana Anies Baswedan menjadi Presiden pada periode 2024-2019.
Namun, Rocky menegaskan bahwa Jokowi tidak perlu terlalu khawatir selama dia memiliki perlindungan hukum.
"Perlindungannya bagaimana? Ada perlindungan hukum, dan juga unsur budaya. Namun, perisai yang paling kuat adalah keteguhan batin presiden itu sendiri," ujar Rocky.
Rocky Gerung juga menyoroti bahwa masalahnya terletak pada kondisi keteguhan batin Presiden Jokowi yang dianggapnya memiliki kelemahan. Menurutnya, Presiden SBY lebih stabil karena memiliki dukungan dari kendaraan politik Partai Demokrat yang melindunginya.
“Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan,” kata mantan dosen di Universitas Indonesia ini.
Menurut Rocky Gerung, sosok yang bisa menjadi perisai hukum Jokowi adalah Yusril. Cara lain agarJokowi mendarat mulus di penghujung kepemimpinannya dengan mengubah Presidential Threshold menjadi nol persen.
“Seharusnya Pak Jokowi ajak Prof Yusril jadi calon presiden atau cawapres, karena Prof Yusril yang bisa menyelamatkan Pak Jokowi. Sebab gak ada orang lain yang tahu, Prof Yusril yang hanya bisa jadi tameng Presiden Jokowi dan yang paham seluk-beluk penyelamatan,” kelakar Rocky.
Pada sisi lain, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, juga mengakui keahlian Yusril dalam hal Presiden Soeharto. Ia menceritakan bahwa Yusril adalah orang yang merumuskan teks pidato ketika Soeharto meninggalkan jabatannya.
Dalam pidato tersebut, Soeharto menggunakan istilah "berhenti" daripada "mengundurkan diri" sebagai Presiden. Dalam konteks hukum, perbedaan antara kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda.
Bivitri mengungkapkan bahwa pilihan kata-kata ini oleh Yusril menunjukkan kecerdasannya dalam menjaga reputasi Soeharto pada saat itu.
“Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikinin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti ya berhenti, karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat,” kata Bivitri.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]