Gempa-gempa
besar juga sering terjadi di zona subduksi Sumatera.
Tempat ini
sangat ideal sebagai laboratorium alam untuk mempelajari proses gempa bumi karena beberapa hal.
Baca Juga:
Banjir Landa Kota Binjai, Sejumlah TPS Ditunda Untuk Melakukan Pemungutan Suara
Pertama,
adanya rangkaian pulau-pulau yang berada persis di atas zona gempa bumi, sehingga kita dapat meletakkan alat pemantau gempa bumi, seperti seismometer dan GPS, persis di atas sumbernya.
Kedua, ada
banyak terumbu karang jenis mikroatol di sekeliling pulau-pulau dan di
sepanjang pantai Sumatera.
Pertumbuhan
mikroatol ini sangat sensitif terhadap turun naiknya dasar laut.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Dengan
mempelajari pola pertumbuhannya, kita dapat merekonstruksi sejarah
turun-naiknya muka bumi yang berkaitan dengan siklus gempa selama beratus-ratus
tahun.
Catatan
sejarah menunjukkan bahwa gempa besar pada masa lalu selalu menimbulkan
gelombang tsunami, seperti yang terjadi tahun 1797 dengan
magnitude Mw 8,3 (M~8,3), 1833(M~9), 1861(M~8,5), dan
1907(M~7,8).
Tsunami
terjadi karena adanya pergerakan dasar laut secara vertikal pada saat gempa.