WahanaNews.co | Pemerintah mewajibkan pelaku pelancong luar negeri yang baru tiba di Indonesia untuk menjalani karantina setibanya di Tanah Air.
Masa karantina berlangsung selama 10 atau 14 hari, tergantung negara asal.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi X-Ray Badan Karantina Diusut KPK, Sudah Jerat Tersangka
Mengacu pada Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19, pekerja migran Indonesia (PMI), pelajar/mahasiswa, dan pegawai pemerintah yang kembali dari perjalanan dinas luar negeri mendapat fasilitas karantina gratis yang ditanggung pemerintah.
Sementara, WNI di luar 3 kriteria tersebut beserta WNA, termasuk diplomat asing, dapat menjalani karantina di tempat akomodasi karantina berbayar.
Namun rupanya, belakangan kebijakan karantina ini menuai kritik lantaran dikeluhkan mahal dan prosesnya lama.
Baca Juga:
Dugaan Korupsi Pengadaan X-Ray Kementan Rp194 Miliar di Kejati DKI Mandeg Jamwas Perlu Turun
Karantina Rp 8,2 juta
Seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Riza Nasser yang baru kembali ke Indonesia dari perjalanan luar negeri menceritakan kisah pahitnya menjalani masa karantina di Tanah Air.
Karena keterbatasan biaya, Riza terpaksa menunggu selama berjam-jam hingga akhirnya bisa mendapatkan tempat karantina.
Riza bercerita, semula dirinya ditawari petugas di bandara untuk karantina di hotel dengan biaya mandiri Rp 8,2 juta.
Biaya itu sudah ditentukan oleh petugas dan hanya hotel tersebut yang bisa dipilih sebagai lokasi karantina.
"Mereka sudah mematok langsung, hanya ini hotel yang ada dan Anda harus dikarantina di sini," kata Riza dalam program Rosi yang ditayangkan Kompas TV, Minggu (19/12/2021).
"Tidak tidak ada opsi lain," tuturnya.
Namun, karena merasa tak punya biaya sebanyak itu, Riza mencoba mencari alternatif lain.
Ia mengutarakan keberatannya ke petugas bandara.
Oleh petugas, Riza lantas disarankan untuk meminta diskresi ke anggota TNI yang mengatur jalannya proses karantina di bandara saat itu.
Sempat memarahi Riza, anggota TNI itu lantas menyuruhnya bergabung dengan pata pekerja migran Indonesia (PMI) yang juga sedang menunggu dibawa ke lokasi karantina.
"Saya menunggu di belakang itu, saya melihat ada 60 lebih orang yang bernasib sama dengan saya," ucap Riza.
Menunggu berjam-jam
Di kelompok tersebut, Riza berkenalan dengan warga yang baru pulang dari Pakistan. Warga itu mengaku sudah menunggu di bandara sejak jam 07.00 pagi, sementara saat itu sudah pukul 21.00.
Sekira pukul 02.00 dini hari, petugas akhirnya mendata warga yang hendak dikarantina.
Riza mengaku proses pemindahan ke tempat karantina begitu panjang dan memakan waktu lama.
"Prosesnya panjang sampai dari imigrasi, kemudian keluar ke bis yang disediakan, paspor kami disita, baru kami dibawa ke Rusun Pasar Rumput sekitar pukul 02.30," kenang dia.
Sesampainya di lokasi karantina di Rusun Pasar Rumput, Jakarta Selatan, rupanya Riza dan warga lainnya tak bisa langsung masuk. Mereka harus menunggu selama berjam-jam di dalam bus.
Sekira pukul 07.00, bus yang Riza dan kawan-kawan tumpangi baru bisa masuk ke halaman depan Rusun Pasar Rumput. Tiga jam setelahnya atau sekitar pukul 10.00 barulah bus bisa masuk ke lokasi karantina.
Namun demikian, pada akhirnya Riza dan rombongan baru benar-benar masuk ke area karantina sekira pukul 13.30.
Riza sangat menyayangkan prosedur karantina ini. Sebab, selain mahal dan lama, hal ini menurut dia juga berpotensi meningkatkan penularan virus corona.
"Saya seperti dikarantina di dalam bis. Batuk-batuk juga saya juga khawatir ada yang batuk, AC menyala kencang waktu itu juga hujan di luar," kata Riza
"Jadi betapa memang mengerikan kita dikarantina di dalam untuk menunggu masuk ke dalam rusun," lanjut dia. [qnt]