Lalu dia mangkal di sisi kanan kantor
PBNU sejak tahun 80-an. Artinya, dia mengalami kepemimpinan KH Idham Chalid,
Gus Dur, KH Hasyim Muzadi, dan KH Said Aqil Siradj.
"Dia terdiam lagi. Saya menduga dia
akan menjawab pertanyaan saya. Dan saya yakin dia tahu
jawabannya. Dia menengok ke spanduk-spanduk di seberangnya, yang melambai-lambai, yang menyatakan Harlah Ke-85 NU," pikir Alawi.
Baca Juga:
MPR RI Bakal Kaji Ulang Pasal TAP MPR Terkait Soeharto dan Gus Dur
Ternyata ia tak menjawabnya. Sejurus
kemudian, dia buka mulut lagi. Namun, lagi-lagi bukan menjawab, melainkan
bercerita lagi. Cerita yang menjauh dari pertanyaan itu. Karena mungkin,
baginya, tidak terlalu penting sudah berapa tahun NU berdiri.
"Di kampung saya, di Tegal,
penduduknya NU semua," katanya.
"Tapi saya tidak ikut-ikutan karena
harus mencari uang. Makanya sejak tahun 60, saya pergi ke Jakarta. Saya jualan
ketoprak. Sepiring 15 rupiah harganya," lanjut kakek kelahiran 1935 ini.
Baca Juga:
Wasekjen PBNU Tuding PKB Dalangi Demo di Kantor PBNU
Tiap Lebaran dia pulang, kemudian ke
Jakarta lagi. Begitu dan begitu, ritme hidupnya.
Pada tahun 1965, dia sempat pulang, tapi bukan saat Lebaran. Pada saat pulang
itulah ia diinterogasi pemuda Ansor.
"Saya ditanya Pandu Ansor. Kamu Pemuda
Rakyat atau bukan? Saya warga NU," ungkapnya.