WahanaNews.co | Badan
Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) membunuh 27 ekor kera dalam satu hari,
pada tahun 2019 silam. Hal itu dibuktikan oleh dokumen hasil pembongkaran The
Guardian dari tim Freedom of Information Act.
Baca Juga:
2 Astronaut Terdampar di ISS, NASA Pastikan Mereka Baru Pulang Tahun Depan
Berdasarkan laporan tersebut, semua kera itu disuntik mati
"dengan cara yang manusiawi" pada 2 Februari 2019, di pusat penelitian Ames
NASA di California. Tindakan tersebut menuai kritik dan amarah dari berbagai
pihak, terutama aktivis binatang.
Lalu, apa alasan NASA melakukan suntik mati pada kera-kera
malang itu? Berdasarkan laporan dalam dokumen tersebut, mereka adalah kera tua
yang yang kebanyakan dari mereka mengalami penyakit Parkinson.
NASA juga menegaskan bahwa primata tersebut bukanlah yang
telah atau akan digunakan untuk misi luar angkasa atau penelitian. Sebaliknya,
mereka berada di Ames untuk dirawat dalam kerja sama dengan LifeSource
BioMedical, perusahaan riset obat swasta yang menyewa tempat di Ames.
Baca Juga:
NASA Berhasil Rekam Citra 'Lukisan' van Gogh di Langit Planet Jupiter
"NASA tidak pernah memiliki primata di kantor NASA atau
fasilitas yang didanai NASA," kata juru bicara NASA kepada GThe Guardian.
Sementara itu, direktur LifeSource BioMedical, Stephanie
Solis, mengatakan bahwa perusahaan telah merawat kera-kera tersebut selama
bertahun-tahun ketika kesehatan mereka telah menurun dan kesulitan untuk
menemukan rumah yang aman.
"Kami setuju untuk menerima hewan-hewan itu dan
bertindak sebagai tempat perlindungan dan memberikan semua perawatan dengan
biaya kami sendiri. Sampai usia lanjut dan kesehatan mereka yang menurun
menghasilkan keputusan untuk melakukan eutanasia secara baik untuk menghindari
kualitas hidup yang buruk," kata Solis.
Lebih lanjut Solis mengatakan bahwa LifeSource tidak pernah
melakukan penelitian apapun terhadap hewan tersebut.
Tetap saja kabar ini telah memicu kemarahan di kalangan
aktivis hewan. NASA dituduh menjadi dalang suntik mati hewan-hewan primata itu.
Ahli etika hewan Universitas New Mexico, John Gluck, mengatakan
bahwa kera bisa menderita deprivasi etologis dan frustrasi akibat kehidupan di
laboratorium. Ia berpendapat suntik mati adalah bentuk bahwa para kera itu
tidak dianggap layak untuk dilindungi.
"Apakah mereka
mencoba (melindunginya)? Pembunuhan mereka adalah perilaku asusila. Malu pada
mereka yang bertanggunng jawab," tegas Gluck.
Senada dengan Gluck, tim pejuang Freedom of Information Act
mengatakan, "Betapa tragisnya renuangan kehidupan ini. NASA memiliki banyak
kekuatan tetapi dalam praktik kesejahteraan hewan, mereka tidak berfungsi."
Berlawanan dengan AS yang enggan menggunakan kera sebagai
alat eksperimen
Pada tahun 2017, ada 74.000 kera digunakan dalam penelitian
dan eksperimen di AS. AS menahan diri untuk tidak menggunakan primata dalam
eksperimen selanjutnya karena menyebabkan kekurangan pengujian vaksin COVID-19
yang potensial.
"Jumlah kera yang digunakan dalam penelitian biomedis
AS mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun lalu, menurut data yang
dirilis pada akhir September oleh Departemen Pertanian AS (USDA)," kata
sebuah laporan di Majalah Science, yang terbit pada 2018.
AS pertama kali membunuh seekor kera pada tahun 1948 atas
nama eksplorasi ruang angkasa, satu dekade sebelum pembentukan NASA. Kera itu
bernama Albert, seekor kera rhesus, yang meluncur ke ruang angkasa dengan roket
V2.
Dia meninggal karena mati lemas selama perjalanannya. Namun,
para ilmuwan mengatakan bahwa itu dapat membantu mereka mempelajari tentang
efek fisiologis perjalanan ruang angkasa. Kera rhesus lainnya, Albert II,
selamat dari penerbangan roket setinggi 83 mil pada tahun berikutnya. Namun, ia
mati setelah kegagalan terjun dengan parasut yang menyebabkan kapsulnya jatuh
ke Bumi. [qnt]