Oleh MARLON SITANGGANG
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
PERKEBUNAN kelapa sawit adalah salah satu sektor bisnis yang sangat
menjanjikan.
Namun, bukan hal mudah untuk terjun dalam bisnis perkebunan kelapa sawit, karena investasi modal awal yang sangat besar.
Baca Juga:
Kejagung Geledah Kantor KLHK Terkait Dugaan Korupsi Kelapa Sawit Senilai Ratusan Miliar
Investasi besar ini mewajibkan kita
untuk menyusun rencana bisnis yang tersusun dengan baik, sehingga
investasi tersebut dapat kembali di waktu yang tepat dan menguntungkan di waktu yang
tepat pula.
Untuk itu, perlu
dipikirkan metode kultur teknis yang baik untuk diterapkan dalam mencapai
produktivitas yang tinggi.
Biasanya, guna
meningkatkan produktivitas kelapa sawit, di banyak kasus para pekebun sawit masih
condong mengutamakan penggunaan pupuk, baik penggunaan pupuk organik maupun
pupuk kimia.
Bahkan, saat ini, banyak beredar berbagai jenis produk yang mengandung
mikroorganisme atau sering disebut bio-organic fertilizer.
Hanya saja, apa betul
mesti mengandalkan pupuk biorganik?
Memang,
penggunaan pupuk biorganik bisa mendorong lahan perkebunan lebih subur.
Namun, pada
kenyataannya, alam di perkebunan kelapa sawit
biasanya telah menyediakan mikroorganisme yang terkandung dalam biorganik
tersebut, hanya saja terkadang pelaku perkebunan tidak menyadarinya.
Sebab itu, yang perlu dilakukan adalah penanganan kebun secara baik.
Misalnya, dengan
menjaga kelembaban tanah di areal perkebunan kelapa sawit, sebab dengan
terjaganya kelembaban tanah maka berpotensi untuk menumbuhkan mikroorganisme di
dalam tanah.
Jika kondisi demikian terjadi, maka bakal mendorong perkembangan sistem perakaran pohon.
Jika penerapan ground cover management itu dilakukan dengan baik, maka efektif feeding root
menjadi maksimal, hasilnya efektivitas penyerapan pupuk menjadi tinggi dan losess pupuk semakin minim, ini terjadi
lantaran kondisi tanah yang lembab.
Penerapan Ground Cover Management juga efektif dalam menghadapi dampak
negatif terjadinya El Nino, sehingga walaupun musim kering menerjang, produktivitas
kebun tetap terjaga.
Sebetulnya, penerapan Ground Cover Management ialah salah
satunya untuk mencapai terwujudnya gawangan yang ditumbuhi dengan gulma yang
berguna (beneficial plant) dan lunak
serta menghindari gulma beracun.
Gulma lunak yang dimaksud semisal Ageratum conyzoides, Axonopus compressus, dan Nephrolepis bisserata.
Sebab itu, mesti
dipastikan yang berkembang adalah gulma lunak yang juga memiliki fungsi sebagai
pelindung tanah sehingga kelembaban terjaga.
Proses Ground Cover Management
Untuk masa Tanaman Belum Menghasilkan
(TBM), penanaman dan perawatan LCC perlu dilakukan.
Pemilihan bahan tanam Legume Cover Crop (LCC) atau kerap
disebut tanaman kacangan dapat berupa biji (seed)
atau dari stek.
Kacangan yang sering dijumpai di
pasaran seperti Mucuna bracteata, Pureria javanica, Calopogonium mucunoides, Centrosema
pubescens terbukti berguna sebagai ground
cover untuk masa TBM.
Jika masih berupa biji, maka bisa ditanam kapan pun juga, namun bila sudah berupa stek
tanaman, maka dianjurkan penanaman LCC pada musim hujan, cara ini dilakukan
supaya LCC yang baru ditanam bisa memperoleh cukup air dan sinar matahari untuk
tumbuh.
Penanaman LCC juga dianjurkan
dilakukan segera setelah proses land
clearing, alasannya setelah dilakukan land
clearing kelembaban tanah masih tinggi, kondisi demikian membantu untuk
mempercepat pertumbuhan LCC.
Setelah melakukan penanaman maka
perawatan kacangan dilakukan dengan membersihkan dan melakukan pemupukan sesuai
dengan jenis, dosis dan waktunya.
Bersamaan dengan LCC yang telah tumbuh
subur biasanya diikuti dengan munculkan gulma yang lain, maka untuk itu perlu
dilakukan tindakan danger kacangan, selective wedding atau mengendalikan
gulma secara selektif, jika gulma tersebut termasuk dalam golongan gulma yang
diharapkan maka tetap dijaga, kecuali di areal-areal tertentu yang mesti dijaga
kebersihannya dari gulma, seperti pada pasar pikul, piringan dan Tempat
Pengumpulan Hasil (TPH) namun jika gulma berbahaya harus dikendalikan.
Perawatan kacangan itu bisa dilakukan
sesuai dengan rotasi yang sudah ditentukan.
Langkah selanjutnya melakukan tindakan
Dongkel Anak Kayu (DAK), anak kayu harus didongkel lantaran berpotensi sebagai
pesaing untuk mendapatkan unsur hara, air dan cahaya matahari sehingga
mengganggu pertumbuhan tanaman utama yaitu kelapa sawit dan bahkan kerap
menjadi sarang tikus.
Biasanya di perkebunan sawit di mana
tanaman sudah mulai tinggi, muncul berbagai gulma di gawangan yang salah
satunya berupa anak kayu, untuk mengatasi kondisi demikian selain dongkel anak
kayu dapat juga dilakukan oles anak kayu dengan herbisida, cara ini dimaksud
untuk mematikan gulma.
Pada umumnya mengatasi munculnya gulma
banyak dilakukan dengan membabat secara manual, padahal cara demikian tidak
memecahkan masalah, lantaran gulma itu bakal tumbuh kembali, sebab itu
disarankan untuk melakukan langkah oles anak kayu dengan herbisida misalnya: trichlopir.
Perlu juga diperhatikan, dalam
menerapkan Ground Cover Management,
harus dipastikan bahwa areal terbebas dari ilalang, anak kayu, kentosan, pakis
kawat dan pakis udang.
Sebab bakal berdampak negatif pada
produktivitas tanaman kelapa sawit.
Jika semua telah dilakukan, maka
kejadian berikutnya bakal terjadi suksesi gulma atau perubahan komposisi gulma
dari suatu jenis gulma kepada komposisi jenis gulma.
Merujuk pengalaman di lapangan salah
satu jenis gulma yang merupakan hasil suksesi adalah Nephrolepis bisserata atau bernama pakis merambat di mana gulma
ini memiliki dampak positif terhadap peningkatan produktivitas kebun sawit.
Misalnya, pada kebun sawit yang
berlokasi di Seruyan, Kalimantan Tengah, penerapan Ground Cover Management dengan menjaga Nephrolepis untuk tumbuh dominan di gawangan (> 50 % luasan) mampu
mendorong peningkatan produktivitas tanaman.
Nampak jelas bahwa di areal perkebunan
di mana blok yang ditumbuhi Nephrolepis
lebih dari 50% dari luasan blok, produktivitas rata-rata kebun sampai dengan
bulan Juli 2015 bisa mencapai 11,17 ton TBS/ha, jauh dibandingkan dengan blok
yang di-cover Nephrolepis kurang dari
50% hanya mencapai 7,49 ton TBS/ha sampai dengan bulan Juli 2015.
Demikian juga untuk kebun-kebun
lainnya, di mana menunjukan produktivitas kebun terdongkrak di kala
pertumbuhan Nephrolepis lebih dari
50% dari seluruh areal.
Bila melihat kondisi demikian,
kontribusi Nephrolepis dalam mendongkrak produktivitas kebun bisa dikatakan cukup baik, kendati untuk
beberapa kasus di kebun, kontribusi tanaman Nephrolepis
terhadap peningkatan produktivitas tidak terlalu signifikan.
Namun demikian korelasi pertumbuhan
mikroorganisme penyubur tanah dengan terjaganya kelembaban tanah oleh Nephrolepis, telah nampak jelas dengan adanya peningkatan produtivitas kebun sawit.
Dengan demikian Nephrolepis yang merupakan hasil suksesi gulma dalam penerapan ground cover management, dari fakta di lapangan
menunjukkan bahwa Nephrolepis bisserta
memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman.
Selamat mencoba! (Marlon Sitanggang, Div Head Agronomy PT
USTP)-dhn