"Selain mengonsumsi nasi, penduduk pada masa itu juga mengembangkan dan mengonsumsi tanaman seperti ubi, singkong, sagu, dan jawa wood yang saat ini dikenal sebagai sorgum. Dikatakan bahwa kata 'jawa' sendiri berasal dari 'jawa wood,' yang merupakan sebutan lain untuk sorgum," ungkap sejarawan ahli kuliner tersebut.
Keberadaan varietas pangan tersebut biasanya menyesuaikan dengan lokasi. Sebut saja di Indonesia Timur yang lazim mengonsumsi sagu.
Baca Juga:
Tips Mengonsumsi Nasi Bagi Pengidap Diabetes
Atau beberapa daerah di Jawa yang juga menyantap ubi atau singkong. Intinya, varietas pangan selain beras ini juga rutin dikonsumsi masyarakat kuno dan belum ada hegemoni atau dominasi beras.
Dominasi beras baru terlaksana sejak periode kolonialisme dimulai di Indonesia. Kata Fadly, pemerintah kolonial mendorong terjadinya pergeseran produksi pangan.
Selama periode kolonialisme, pemerintah kolonial aktif melakukan ekstensifikasi beras di seluruh wilayah untuk kepentingan sendiri ihwal kebutuhan tenaga kerja pribumi.
Baca Juga:
Alasan Nasi Dingin Lebih Sehat untuk Penderita Diabetes
"Pemerintah pada dasarnya melihat komoditas yang dibutuhkan. Saat itu, mereka melakukan ekstensifikasi beras karena nasi adalah konsumsi masyarakat umum, khususnya para pekerja dan kuli yang bekerja untuk pemerintah," ujarnya.
Semua ini mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam periode ini, berbagai kebijakan seperti preangerstelsel, culturstelsel (tanam paksa), dan liberalisasi 1870 mulai menyebabkan variasi pangan lokal terpinggirkan. Semua ini secara perlahan digantikan oleh beras.
Perjalanan panjang tersebut menciptakan ketergantungan masyarakat pada beras dan nasi. Pada masa Soekarno, upaya diversifikasi atau pengenalan variasi pangan pernah dilakukan.