WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tahun baru biasanya dirayakan setiap negara pada pukul 00.00 waktu setempat.
Namun, perbedaan zona waktu di berbagai negara menyebabkan waktu perayaan tahun baru tidak serentak di seluruh dunia.
Baca Juga:
Desa Bakal Jadi Backbone Bahan Baku MBG, Pemerintah Gelontorkan Anggaran Rp 14,2 Triliun
Indonesia, misalnya, memiliki tiga zona waktu sehingga masyarakatnya tidak serempak merayakan malam pergantian tahun.
Perbedaan waktu ini terjadi karena variasi zona waktu antarnegara.
Standar waktu internasional yang digunakan adalah Greenwich Mean Time (GMT), yang menjadi acuan untuk menentukan negara mana yang memulai hari lebih awal dibanding negara lainnya.
Baca Juga:
Contact Center PLN 123 Raup 14 Penghargaan GCCWA Internasional Tahun 2024, ALPERKLINAS Apresiasi Transformasi Layanan Terbaik Konsumen Listrik
Lalu, wilayah mana yang pertama dan terakhir merayakan tahun baru?
Menurut informasi dari Time and Date, Kiribati adalah negara pertama yang merayakan tahun baru, khususnya di wilayah Kiritimati.
Jika mengacu pada Zona Waktu Indonesia Barat (WIB), wilayah Kiritimati sudah memasuki 1 Januari 2025 pada Selasa (31/12/2024) pukul 17.00 WIB.
Sebaliknya, dua wilayah di bawah kendali Amerika Serikat, yakni Pulau Baker dan Pulau Howland, menjadi tempat terakhir yang menyambut tahun baru.
Kedua pulau tersebut baru akan memasuki 1 Januari 2025 ketika waktu di Jakarta menunjukkan pukul 19.00 WIB pada Rabu (1/1/2025).
Dengan demikian, Kiritimati (Kiribati) dan Pulau Baker-Howland memiliki selisih waktu hingga 26 jam dalam perayaan tahun baru.
Wilayah Kirimati
Kiritimati, atau yang juga dikenal sebagai Pulau Christmas, adalah sebuah pulau karang terbesar di dunia yang terletak di negara Kiribati, kawasan Samudra Pasifik bagian tengah.
Pulau ini memiliki luas daratan sekitar 388 km², menjadikannya salah satu pulau karang paling menonjol.
Kiritimati berada di Zona Waktu UTC+14, sehingga menjadi wilayah pertama di dunia yang memulai hari baru. Hal ini membuat Kiritimati sering disorot saat perayaan tahun baru.
Nama "Christmas Island" diberikan oleh penjelajah Inggris Kapten James Cook saat menemukan pulau ini pada 24 Desember 1777, tepat di malam Natal.
Meski demikian, pulau ini telah dihuni oleh penduduk asli Polinesia jauh sebelum kedatangan Cook.
Pulau ini terkenal dengan keindahan alamnya, yang meliputi pantai-pantai pasir putih, laguna biru yang luas, serta ekosistem yang kaya.
Kiritimati menjadi rumah bagi berbagai spesies burung laut, seperti fregat dan booby, menjadikannya lokasi penting bagi para pengamat burung dan peneliti. Selain itu, laguna-lagunanya yang luas menjadikannya tujuan populer untuk fly fishing, terutama untuk menangkap ikan bonefish.
Populasi Kiritimati berkisar sekitar 6.500 jiwa. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor perikanan, pariwisata, dan pertanian skala kecil.
Meskipun infrastrukturnya sederhana, Kiritimati memiliki fasilitas seperti bandara dan pelabuhan kecil untuk mendukung aktivitas ekonomi.
Pulau ini memiliki sejarah strategis selama era Perang Dingin, ketika digunakan oleh Inggris dan Amerika Serikat sebagai lokasi uji coba nuklir.
Meskipun uji coba ini telah lama dihentikan, sejarah tersebut masih menjadi bagian penting dari identitas Kiritimati.
Pulau Baker dan Pulau Howland
Pulau Baker dan Pulau Howland adalah dua pulau kecil yang terletak di kawasan terpencil Samudra Pasifik bagian tengah.
Keduanya merupakan wilayah tak berpenghuni di bawah kendali Amerika Serikat dan termasuk dalam kategori "unincorporated territories."
Dengan luas hanya sekitar 2 km² masing-masing, kedua pulau ini menawarkan lanskap gersang, berupa dataran rendah berbatu dengan vegetasi terbatas.
Lokasi mereka berada di Zona Waktu UTC-12, menjadikan mereka tempat terakhir di dunia yang memasuki hari baru, termasuk perayaan tahun baru.
Meski kini tak berpenghuni, kedua pulau ini memiliki sejarah penting. Pulau Howland dikenal sebagai tempat pemberhentian yang direncanakan dalam perjalanan terakhir Amelia Earhart pada 1937, meskipun ia tidak pernah tiba.
Sementara itu, Pulau Baker pernah digunakan untuk kegiatan penambangan guano pada abad ke-19 sebelum akhirnya ditinggalkan.
Saat ini, kedua pulau ini lebih banyak dimanfaatkan untuk penelitian ilmiah dan konservasi ekosistem laut.
Wilayah sekitarnya juga menjadi bagian dari Pacific Remote Islands Marine National Monument, yang melindungi keanekaragaman hayati laut di kawasan tersebut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]