Langit yang cenderung bersih dari awan atau clear sky akan
menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke
atmosfer luar sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih
dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.
"Kondisi lebih dingin
pada periode puncak musim kemarau ini oleh orang Jawa diistilahkan "bediding",
umumnya berlangsung dari Juli hingga September," kata Siswanto.
Baca Juga:
Suhu 38 Derajat Menyengat Indonesia, BMKG Ingatkan Bahaya Heatstroke di Jam Puncak
Selain itu, gerak semu Matahari saat ini masih berada pada
Belahan Bumi Utara (BBU) sehingga radiasi maksimum Matahari ada di BBU,
sementara di Belahan Bumi Selatan (BBS) radiasinya sedikit lebih rendah.
"Jadi meskipun posisi matahari saat ini berada pada titik
jarak terjauh dari bumi (aphelion) dalam siklus gerak revolusi bumi mengitari
matahari, hal itu tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer permukaan,"
katanya.
Jadi fenomena "bediding" sendiri, di mana suhu terasa lebih
dingin saat menuju puncak musim kemarau lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika
dan atmosfer fisis dekat permukaan bumi, dan ini merupakan hal biasa terjadi
setiap tahun.
Baca Juga:
Sarmi Papua Guncang Lagi, 120 Gempa Susulan Tercatat Usai Lindu M6,6
Bahkan, kata Siswanto, ini pula yang menyebabkan di beberapa
wilayah seperti Dieng dan dataran tinggi lainnya, berpotensi terjadi embun es
(embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang. [qnt]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.