WahanaNews.co, Jakarta - Orang kaya kerap menarik perhatian publik karena gaya hidup mewah yang mereka jalani. Tinggal di rumah megah bak istana, bepergian dengan pesawat jet pribadi, hingga memiliki hobi menghambur-hamburkan uang seakan menjadi ciri khas.
Namun, tidak semua orang kaya hidup seperti itu. Salah satu contohnya adalah Tumpal Dorianus Pardede, atau lebih dikenal sebagai T.D Pardede, yang merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia pada era Soekarno dan Soeharto. Meskipun memiliki kekayaan melimpah di dua zaman berbeda, T.D Pardede justru memilih untuk memegang teguh filosofi hidup sederhana, menjadikan "hidup miskin" sebagai prinsip utamanya.
Baca Juga:
Memulai Hari dengan Mentalitas Miliarder: 13 Ritual Pagi Terbaik
Bagaimana Bisa?
T.D Pardede jadi satu dari sedikit pengusaha Indonesia yang sudah berbisnis sejak belia. Dia tercatat berbisnis dari usia 7 tahun atau tahun 1923. Dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1980) diketahui, bisnis pertamanya adalah jual-beli kelereng di pasar.
Seiring bertambah usia, dia kemudian mencoba bisnis gula. Tak disangka, bisnis gula sukses membuat namanya naik daun sebab jadi pengusaha yang sukses memonopoli perdagangan gula di Tapanuli.
Baca Juga:
Pemerintah Kaji Kebijakan Family Office untuk Tarik Investasi Domestik, Luhut yang Menyiapkan
Selain berbisnis, T.D Pardede juga tercatat sebagai pejuang kemerdekaan. Dia pernah jadi tentara untuk mengurusi logistik dan pencarian dana. Namun, pada 1949, dia keluar dari dinas militer demi fokus berbisnis.
Di era kemerdekaan, bisnis Pardede adalah produksi kaus singlet merek Surya. Dalam otobiografi Dr. T.D. Pardede, Wajah Seorang Pejuang Wiraswasta (1981), dia melihat kala itu tak ada industri kaus singlet di Indonesia, sehingga peluang untuk bisa mendulang keuntungan sangat besar.
Apalagi, di era Soekarno, industri tekstil sedang berjaya. Benar saja, peluang ini kemudian benar terjadi. Tak lama kemudian, Singlet Surya laku hingga dia mampu mendirikan perusahaan lebih besar bernama Pardedetex pada 1953.
Dari sini pria kelahiran 16 Oktober 1926 ini mulai memupuk kekayaan. Bisnisnya pun makin terdiversifikasi. Awalnya hanya kaus singlet, tapi perlahan memproduksi juga baju, selimut, dan sebagainya. Selain di industri tekstil, dia juga punya 26 perusahaan beraset miliaran rupiah.
Antara lain, hotel, perkebunan, klub sepakbola, dan banyak pabrik. Kesuksesan tersebut lantas membuat Pardede dianggap sebagai salah satu orang terkaya Indonesia pada 1980-an. Banyak orang juga menjulukinya sebagai 'raja tekstil' hingga 'raja uang'. Saking kaya raya.
Raja Uang yang Pilih Hidup Miskin
Meski punya banyak uang, kekayaan tak membuat Pardede terlena. Sebab, dia menganut filosofi hidup miskin dan kesederhanaan. Dalam buku Paparan 75 Tahun Dr. T.D Pardede (1991) diketahui dia memegang ajaran "orang kaya harus belajar miskin."
Maksudnya, saat punya uang melimpah, harus ingat perjuangan saat masih tak punya uang. Berarti, orang kaya seharusnya jangan pamer harta. Kata Pardede, setiap orang kaya harus ingat bahwa rezeki berasal dari Tuhan.
Maka, jangan sesekali menyombongkan diri. Semua harta yang dimiliki merupakan amanah dan titipan Tuhan. Atas dasar ini, para orang kaya harus selalu ingat perjuangan saat hidup miskin yang serba susah dan sama sekali tak bisa dipamerkan.
Berkat filosofi seperti ini, Pardede cukup dihormati di Indonesia, terutama warga Sumatera Utara. Selain itu, Pardede juga punya hobi filantropi. Diketahui, dia aktif membangun rumah sakit, tempat ibadah dan sekolah bagi warga Medan.
Kiprah T.D Pardede harus berhenti pada 18 November 1991 karena wafat di Singapura. Tempo (26 Maret 1994) mewartakan sebelum wafat, 'raja uang' membuat wasiat agar seluruh harta tak dibagikan kepada anak-anaknya.
[ADV/Redaktur: Amanda Zubehor]