WahanaNews.co | Pemerintah akan membuka pintu masuk bagi wisatawan mancanegara (wisman) alias turis asing ke Bali mulai 14 Oktober 2021 nanti.
Turis asing dari Korea Selatan, China, Jepang, Abu Dhabi, Dubai, termasuk Selandia Baru, boleh berwisata ke Pulau Dewata di tengah perpanjangan PPKM.
Baca Juga:
BNNP Bali Gerebek Narkoba, Oknum Polisi Tertangkap Diserahkan ke Propam
Syaratnya, mereka harus menaati protokol kesehatan ketat yang berlaku di Indonesia, termasuk soal masa karantina minimal delapan hari.
Misalnya, sudah melakukan pemesanan hotel untuk karantina dengan biaya sendiri.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menduga, kebijakan ini sengaja diambil untuk memulihkan sektor pariwisata yang selama ini menjadi “tulang punggung” ekonomi Bali dari dampak pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Nusa Dua Bali Jadi Tuan Rumah General Annual Meeting FISUEL Tahun 2017, ALPERKLINAS Hadir sebagai Salah Satu Peserta dari Indonesia
Apalagi, dampaknya sudah berlangsung 1,5 tahun dan sangat luar biasa kepada masyarakat dan ekonomi provinsi tersebut.
Namun, Yusuf meminta pemerintah berhati-hati dengan keputusan ini.
Sebab, langkah ini tak serta merta membuahkan hasil pemulihan ekonomi dalam waktu cepat.
Kenapa?
Yusuf mengatakan, hal ini tercermin dari pelonggaran pintu keluar masuk Indonesia pada awal 2021.
Nyatanya, ketika dibuka, warga negara asing (WNA) tak langsung serta merta datang ke Indonesia, karena belum yakin dengan penanganan Covid-19.
"Bahkan ketika data kasus Covid-19 menurun pada Maret-Mei, kunjungan wisata asal ASEAN, misalnya, hanya mencapai 40 ribu. Padahal, sebelum pandemi bisa mencapai 300-500 ribu kunjungan. Hal ini karena cara penanganan pandemi yang ketika itu belum optimal, akhirnya mempengaruhi psikologis wisman," ungkap Yusuf kepada wartawan, Senin (4/10/2021).
Belum lagi, secara historis, biasanya minat wisata turis di periode Oktober justru tengah menurun, karena bukan merupakan masa liburan utama, seperti pertengahan tahun dan jelang tutup tahun.
"Jadi, saya kira, ini posisi yang belum mendukung untuk re-opening (membuka kembali) Bandara Ngurah Rai," ucapnya.
Di sisi lain, lanjutnya, sejumlah negara yang turisnya diundang melancong ke Tanah Air, justru sedang berjuang melawan kenaikan kasus, seperti China dan Korea Selatan.
Hal ini membuat pemerintah negara setempat justru sedang memberlakukan pembatasan ketat.
Yusuf khawatir, bila tetap dibuka untuk negara-negara yang tengah tinggi peningkatan jumlah kasus barunya, bisa jadi bumerang bagi Indonesia.
Sektor pariwisata tidak serta merta pulih, jumlah kasus malah bisa bertambah.
"Ada risiko dari rencana re-opening ini," imbuh dia.
Masalah lain, pembukaan pintu wisata bagi turis asing saat ini, mungkin baru terasa dampaknya tahun depan.
Itu pun, sambungnya, bergantung pada dinamika kondisi kesehatan dan ekonomi Indonesia serta negara-negara mitra wisata.
"Dengan beragam asumsi, di antaranya pemerintah berhasil menjaga momentum penurunan kasus yang terjadi saat ini dan negara-negara utama asal wisman, seperti ASEAN dan China berhasil menurunkan kasus Covidnya," jelasnya.
Atas berbagai pertimbangan ini, Yusuf menawarkan jika pemerintah tetap ingin melakukan uji coba pembukaan pintu wisata, lebih baik ditujukan kepada turis lokal dulu.
Syaratnya, mereka sudah divaksin dan siap menjalankan protokol kesehatan ketat di tempat wisata.
Senada, Ekonom INDEF, Nailul Huda, juga mewanti-wanti pemerintah soal rencana pembukaan pintu masuk bagi turis asing.
Indonesia, katanya, perlu belajar dari pengalaman masa lalu, ketika Covid-19 varian Delta menyebar di dalam negeri dan menimbulkan puncak gelombang kedua.
Saat itu, menurutnya, Indonesia tidak berhati-hati dengan menutup akses masuk, sehingga Covid-19 varian Delta dari India masuk dengan mudah.
Bahkan, langsung menyebar secara masif ke berbagai penjuru dan memicu ledakan kasus.
"Jadi seharusnya pembukaan kunjungan wisman harus melihat kondisi negara lain juga, selain kondisi pandemi di dalam negeri," terang Huda.
Huda juga sangsi bila pembukaan pintu masuk bagi turis pada saat ini bisa membuahkan pemulihan ekonomi.
Sebab, secara pertumbuhan, sektor pariwisata merupakan yang paling terpuruk akibat tekanan pandemi, maka dampak pemulihannya pun butuh waktu yang lebih panjang ketimbang sektor-sektor lain.
Kendati demikian, apabila pemerintah bersikeras membuka pintu masuk untuk turis ke Bali, Yusuf meminta agar aturan ketat diberlakukan.
Mulai dari kajian pembukaan pintu bagi negara-negara tertentu.
Menurutnya, lima negara yang akan diperbolehkan ini tidak semuanya berada di “zona hijau” alias aman dari Covid-19.
China, misalnya, perlu dikaji lagi, karena tengah mengalami kenaikan jumlah kasus.
Aturan ketat selanjutnya adalah soal verifikasi vaksinasi dan protokol kesehatan di dalam negeri.
Indonesia, katanya, perlu mengutamakan menerima turis yang sudah vaksin.
"Jangan sampai niat baik pemerintah menjalankan mesin ekonomi pariwisata harus dibayar dengan kenaikan kasus covid-19 kembali," tutur Yusuf.
Huda menambahkan, rencana pembukaan juga harus dilakukan dengan matang.
Misalnya, baru benar-benar dibuka ketika Indonesia sudah sangat mampu mengendalikan Covid-19.
Begitu juga dengan negara-negara yang diperbolehkan masuk, sudah mampu juga menangani Covid-19.
Bahkan, mayoritas warga negaranya sudah tidak lagi terjangkit Covid-19.
"Jika kasus di negara lain tengah naik, kita tutup rapat. Setelah di dalam negeri tidak menanjak dan pandemi negara lain reda, baru buka dengan pengawasan ketat," pungkasnya. [dhn]