WAHANANEWS.CO, Riau - Operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang dunia politik daerah. Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka bersama dua pejabat lainnya setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Riau. Total uang yang diamankan dari rangkaian OTT ini mencapai Rp 1,6 miliar.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, operasi tangkap tangan tersebut dilakukan pada Senin (3/11/2025) dan diumumkan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025). Dari operasi itu, tim KPK awalnya menangkap tujuh orang di lapangan, termasuk Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau berinisial MAS, Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau berinisial FRY, serta lima kepala unit teknis jalan dan jembatan wilayah I, III, IV, V, dan VI, masing-masing berinisial KA, EI, LH, BS, dan RA.
Baca Juga:
KPK Tetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Dua Pejabat Lain sebagai Tersangka Korupsi
“Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” ujar Johanis.
Tak berhenti di situ, tim penyidik kemudian memburu Gubernur Riau Abdul Wahid yang sempat bersembunyi sebelum akhirnya ditemukan di salah satu kafe di Riau. Bersamaan dengan itu, orang kepercayaannya yang berinisial TM juga ikut diamankan di sekitar lokasi.
Selanjutnya, KPK melakukan penggeledahan di rumah pribadi Abdul Wahid di kawasan Jakarta Selatan. Dari penggeledahan tersebut, ditemukan uang pecahan asing sebesar 9.000 pound sterling dan USD 3.000, yang jika dikonversi mencapai sekitar Rp 800 juta.
Baca Juga:
Dari Saleh Djasit ke Abdul Wahid, Rangkaian Gubernur Riau yang Ditangkap KPK
“Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp 1,6 miliar,” kata Johanis.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau berinisial MAS, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau berinisial DAN. Mereka diduga melakukan pemerasan terkait penambahan anggaran di Dinas PUPR PKPP Riau.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.