Sultan pun melarang melarang aktivitas dagang oleh PKL di sepanjang Jalan Malioboro saat proses relokasi ini nantinya selesai. Bagi para pendorong gerobak, kebijakan ini sama saja dengan mematikan mata pencaharian mereka.
"Banyak teman-teman yang bingung dan stres, termasuk saya. Karena di tempat yang baru (Teras Malioboro 1 dan 2) kan tidak pakai gerobak lagi. Otomatis kita nganggur," kata pria 48 tahun itu.
Baca Juga:
Lorong Malioboro Disewakan ke PKL Liar, Tarif Rp 24 Juta per 6 Bulan
Langkah audiensi ke DPRD Kota Yogyakarta dan DIY pun telah ditempuh. Intinya, pertama meminta para legislatif menyampaikan permohonan penundaan waktu relokasi kepada Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta sampai setelah Lebaran tahun ini.
"Kita sepaham sama PKL, karena lebaran itu jadi momen buat cari modal pulang kampung. Modal tradisi lebaran itu lah," ucapnya.
Pasalnya, para pendorong beberapa tahun ini juga sudah tertatih-tatih menghadapi imbas pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Jual aset bukan hal baru bagi mereka demi nafas yang lebih panjang sebelum akhirnya mengencangkan ikat pinggang lagi.
Baca Juga:
Bereskan Lapak, PKL Malioboro Diberi Waktu Sampai 7 Februari
Maklum, 85 persen anggota paguyuban mengandalkan cuan dari para PKL. Sisanya, menyambi tukang batu, tukang las, petani, dan Kuat sendiri membuka jasa servis elektronik.
Kepada Panitia Khusus (Pansus) Relokasi PKL Malioboro DPRD Kota Yogyakarta, para pendorong menyampaikan permintaan kompensasi agar bisa diberdayakan di dua Teras Malioboro sebagai petugas jaga toilet, juru parkir, maupun keamanan. Sebelum akhirnya satu suara memohon jatah lapak mempertimbangkan jangka panjangnya.
"Kalau lapak bisa buat anak-cucu kita," tutur Kuat.