WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ratusan pelajar di Garut harus menahan sakit setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diduga menjadi penyebab keracunan massal paling besar sepanjang tahun ini.
Anggota Komisi IV Bidang Pendidikan dan Kesehatan DPRD Garut, Yudha Puja Turnawan, mengungkapkan kronologi hingga dugaan penyebab keracunan yang menimpa 657 pelajar tersebut.
Baca Juga:
Bupati Klaten Tetapkan Status KLB atas Kasus Keracunan Massal di Karangturi
Hal itu disampaikan Yudha saat diwawancarai di Garut pada Sabtu (20/9/2025) pagi. Menurutnya, temuan itu berasal dari hasil penelusuran langsung di lapangan dan data penyelidikan sementara dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut.
"Pertama terkait kronologi, para pelajar yang mengalami gejala keracunan sejak menyantap MBG pada hari Selasa, 16 September 2025," ucap Yudha.
Makanan yang disantap para pelajar itu diproduksi oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Al-Bayyinah 2 yang berlokasi di Kampung Cilageni, Desa Karangmulya, Kecamatan Kadungora.
Baca Juga:
71 Warga di Surabaya Keracunan Usai Santap Daging Kurban
Menu yang disajikan berupa nasi uduk, ayam woku, tempe orek, selada, timun, dan stroberi. Makanan tersebut dibuat sebanyak 3.500 porsi, meski ada catatan dari BPOM yang menyebutkan jumlah produksi mencapai 3.800 porsi.
MBG kemudian didistribusikan ke berbagai jenjang sekolah, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Madrasah Aliyah (MA).
Adapun korban berasal dari lima sekolah berbeda, yakni SDN Mandalasari 1, SDN Mandalasari 2, SMP Siti Aisyah, SMA Siti Aisyah, serta MA Ma’Arif.
Menurut data Dinkes Garut yang dihimpun Yudha, proses pengolahan makanan sudah dilakukan sejak Senin (15/9/2025) sore. Pukul 15.00 WIB, para pekerja SPPG mencuci selada dan timun menggunakan air PDAM.
Kemudian, pukul 20.00 WIB, ayam dicuci dengan air kran, disimpan di freezer, lalu dimasukkan secara bertahap ke rice timer.
Proses masak berlanjut pada Selasa (16/9/2025) dini hari, tempe orek dimasak pukul 01.00 WIB, ayam dimasak pukul 03.00 WIB, dan seluruh makanan matang dimasukkan ke tray sekitar pukul 04.00-05.00 WIB.
Distribusi dimulai pukul 09.00 WIB untuk PAUD dan SD, serta pukul 11.00 WIB untuk SMP dan SMA. Namun, di MA Ma’Arif para pelajar baru menyantap makanan selepas pukul 12.00 WIB setelah sholat dzuhur.
Beberapa jam kemudian, gejala keracunan mulai dirasakan para pelajar, mulai dari diare, lemas, mual, hingga pusing, bahkan ada yang pingsan.
Sekitar 30 pelajar kemudian dilarikan ke Puskesmas Kadungora dan menjalani perawatan intensif. Hingga Jumat malam, masih ada 10 pelajar yang dirawat.
Menurut Yudha, ada beberapa dugaan penyebab keracunan yang muncul dari analisa Dinkes Garut. Pertama, pencucian bahan makanan seperti timun, selada, dan ayam dengan air kran yang belum jelas higienitasnya sehingga berpotensi menimbulkan kontaminasi mikrobiologi.
Kedua, lamanya waktu tunggu antara makanan selesai dimasak dan dikonsumsi. Berdasarkan laporan, makanan yang dikemas pukul 05.00 WIB baru dimakan empat jam kemudian oleh pelajar PAUD dan SD, enam jam oleh pelajar SMP dan SMA, bahkan tujuh jam oleh pelajar MA Ma’Arif.
Selain itu, penyimpanan ayam juga diduga tidak sesuai suhu aman sebelum dimasak. "Meskipun menggunakan rice timer, ayam tetap bisa berisiko menimbulkan keracunan jika prinsip time-temperature control tidak benar-benar dipatuhi," tegas Yudha.
Ia menambahkan, hal ini harus menjadi perhatian serius karena menyangkut keselamatan dan kesehatan siswa.
Sementara itu, Dinas Kesehatan Garut sudah mengambil seluruh sampel makanan untuk diteliti di laboratorium Bandung. Proses penelitian akan berlangsung selama tujuh hari kerja.
Kepala Dinas Kesehatan Garut, dr. Leli Yuliani, menegaskan pihaknya belum bisa memastikan penyebab keracunan sebelum hasil laboratorium keluar. "Kami saat ini fokus menangani pasien yang masih menjalani perawatan," kata Leli.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]