Sementara, Ketua IDI Wilayah Lampung, dr Josi Harnos menegaskan, bahwa kekerasan terhadap tenaga kesehatan tidak boleh dibiarkan.
“Hal ini dapat mengganggu proses distribusi para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil, karena merasa tidak terjamin keamanannya dan perlindungan hukumnya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata dr Josi.
Baca Juga:
Besok! Debat Pamungkas Pilgub Lampung Siap Digelar, Ini Temanya
“Selama ini, IDI terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat, seperti Dinas Kesehatan Lampung Barat untuk membahas faktor-faktor risiko yang terkait dengan kekerasan terhadap dokter dan kemungkinan langkah-langkah pada tingkat pribadi, kelembagaan, atau kebijakan yang diperlukan untuk mengurangi insiden tersebut,” sambungnya.
Diketahui, kekerasan pada dokter dan tenaga kesehatan dapat terdiri dari ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai, serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme, dan pembakaran.
Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis, seperti depresi, insomnia, stres pasca trauma, ketakutan, dan kecemasan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil.
Baca Juga:
Bulan Solidaritas Palestina 2024: Ribuan Masyarakat Lampung Berlayar dan Kibarkan Bendera di Selat Sunda
Proses distribusi para dokter internship dan dokter spesialis selama ini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan-RI secara langsung.
IDI berharap ketika Kemenkes-RI memberikan penugasan pada para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil, maka pemerintah juga sebaiknya memberikan jaminan perlindungan, terutama hukum pada tenaga kesehatan yang ditugaskan.
Dikatakan oleh Ketua Umum PB IDI, DR. Dr. Moh. Adib Khumaidi selama ini jaminan perlindungan dokter dalam bertugas sudah dilakukan dengan baik oleh organisasi profesi kesehatan, termasuk IDI yang selama ini sudah menjalin hubungan dan selalu berkoordinasi dengan aparat dan pemerintah daerah setempat. [sdy]