Dalam sistem ini, yang dihitung bukanlah suara by name caleg, melainkan akumulasi perolehan suara partai di wilayah binaan alias desa masing-masing. Adapun akumulasi ini di antaranya didapatkan berdasar by name caleg dan suara coblos partai.
Jekek menambahkan PDIP memiliki kewenangan untuk menentukan siapa caleg yang akan dilantik. Hal ini tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Juga:
Terkait Kasus Hasto, KPK Panggil Dua Anggota DPR dari Fraksi PDIP
Pada Pasal 426 ayat (1) undang-undang tersebut, tertulis bahwa penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dapat dilakukan jika terpenuhi kondisi:
Meninggal dunia.
Mengundurkan diri.
Tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota.
Terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam pasal 426 ayat (3), tertulis sebagai berikut:
Baca Juga:
Terkait Kasus Hasto, Satpam Markas PDIP Hingga Eks Komut PT Inalum Dipanggil KPK
"Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya."
Jekek juga menerangkan bahwa caleg dari PDIP adalah warga negara Indonesia (WNI) yang paham dan patuh terhadap AD/ART, regulasi internal, dan regulasi dalam bentuk lain. Apabila caleg tidak memenuhi aturan internal, maka wajib mengundurkan diri.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]