WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sebuah rumah yang telah dihuni lintas generasi sejak abad ke-19 tiba-tiba rata dengan tanah tanpa satu pun putusan pengadilan, dan dari sanalah nama Kushayatun (65), warga Kelurahan Kraton, Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, mencuat ke perhatian publik pada Rabu (1/10/2025).
Kasus pembongkaran rumah Kushayatun ini segera dibandingkan dengan perkara Nenek Elina Widjajanti (80) di Surabaya yang sebelumnya viral secara nasional karena pola sengketa yang dinilai serupa.
Baca Juga:
Masyarakat Dusun II di Distrik Prafi Minta Bantuan Hukum dari LP3BH Manokwari Terkait Status Tanah
Kesamaannya terletak pada rumah yang telah ditempati turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun, namun berakhir pada pengosongan paksa dan pembongkaran tanpa adanya eksekusi pengadilan.
Ironisnya, proses pembongkaran rumah tersebut tetap berlangsung dengan kehadiran aparat pemerintah di lokasi, mulai dari anggota Satpol PP hingga unsur kecamatan dan kelurahan.
Peristiwa itu kemudian dilaporkan ke kepolisian, Wali Kota Tegal, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tegal oleh pihak keluarga korban.
Baca Juga:
Mediasi Akhiri Konflik Tanah di Rokan Hilir, Kedua Pihak Sepakat Damai
Kuasa hukum Kushayatun, Agus Slamet dari LBH FERARI Tegal, menegaskan bahwa pembongkaran dan pemagaran rumah kliennya dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
"Ini yang membuat kasus Kushayatun mirip dengan Nenek Elina di Surabaya. Sama-sama tidak ada proses eksekusi dari pengadilan, tetapi bangunan sudah dibongkar," ujar Agus Slamet, Senin (29/12/2025).
Agus menegaskan bahwa sekalipun terdapat klaim kepemilikan tanah melalui sertifikat, tindakan pengosongan paksa tetap wajib melalui mekanisme hukum.
Pria yang akrab disapa Guslam itu menyebut rumah yang ditempati Kushayatun telah dihuni secara turun-temurun sejak tahun 1887.
Permasalahan baru muncul pada tahun 2004 ketika tiba-tiba terbit sertifikat tanah atas nama pihak lain, yang kemudian kembali berpindah tangan.
"Tiba-tiba tahun 2004 ada orang yang mengaku memiliki sertifikat tanah. Oleh si orang tersebut di tahun 2020 dijual ke orang Banyumas. Di tahun 2024 orang Banyumas itu melayangkan beberapa somasi ke nenek Kushayatun akhirnya terjadi pembongkaran," kata Guslam.
Ia menambahkan bahwa Kushayatun dan keluarganya tidak pernah merasa melakukan transaksi jual beli tanah atau bangunan tersebut.
"Klien kami tidak pernah menjual, menghibahkan atau memindahtangankan tanah itu. Tapi tiba-tiba ada sertifikat dan langsung diikuti somasi hingga pembongkaran," tegas Guslam.
Atas kejadian tersebut, LBH FERARI Tegal melaporkan dugaan pelanggaran kode etik aparatur sipil negara kepada Wali Kota Tegal sebagai pembina ASN.
Langkah ini diambil karena terdapat oknum pejabat pemerintah yang hadir di lokasi saat pembongkaran dilakukan.
"Dan wali kota telah memerintahkan inspektorat memeriksa teradu oknum ASN yang berada di lapangan ketika pembokaran dilakukan," kata Guslam.
Selain itu, pihaknya juga mengadukan persoalan ini ke DPRD Kota Tegal agar memanggil Badan Pertanahan Nasional guna mengklarifikasi keabsahan sertifikat tanah yang menjadi dasar klaim kepemilikan.
Upaya hukum juga ditempuh dengan melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian untuk proses pidana.
"Tiga orang yang kita laporkan ke Polres Tegal Kota. Pertama, orang penerima perintah pembongkaran, kedua pemberi perintah, dan ketiga pembeli tanah yang baru," kata Guslam.
Ia menyebut penyidik Polres Tegal Kota telah lebih dulu memeriksa lima orang kuli bongkar yang terlibat dalam perobohan bangunan.
Penyidikan kemudian berkembang dengan memanggil pejabat pemerintahan setempat sebagai saksi.
"Beberapa waktu lalu para pekerja bongkar sudah diperiksa. Informasi terbaru yang kami terima, Senin (29/12/2025), Lurah Kraton dan Camat Tegal Barat dipanggil penyidik untuk dimintai keterangan," kata Guslam.
Pemanggilan tersebut dinilai krusial karena adanya dugaan keterlibatan ASN dalam pembongkaran dan pemagaran rumah Kushayatun.
Guslam menilai perkara ini berpotensi memicu kemarahan publik jika tidak ditangani secara transparan dan berkeadilan.
Ia menekankan bahwa rumah tersebut juga menjadi sumber penghidupan keluarga Kushayatun melalui usaha warung kecil.
"Ini bukan sengketa tanah saja, tapi menyangkut rasa keadilan. Apalagi korbannya lansia. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan justru membuat warga takut," kata Guslam.
Ia mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas peran semua pihak yang terlibat dalam pembongkaran tanpa izin pengadilan tersebut.
"Kasus ini harus terang. Jangan sampai Kota Tegal dicatat publik sebagai daerah yang membiarkan warganya kehilangan rumah tanpa proses hukum. Dan sebenarnya lebih parah di Tegal dari pada di Surabaya. Karena ada keterlibatan ASN," kata Guslam.
Sementara itu, Lurah Kraton Sugiarti dan Pelaksana Tugas Camat Tegal Barat Teti Kirnawati membenarkan pemanggilan mereka oleh penyidik.
"Betul, tadi pagi jam 09.00 WIB ke Unit I. Hanya sebentar saja untuk klarifikasi," kata Teti kepada wartawan.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah yang ditempati Kushayatun, dan kuasa hukum menyebut pihak tersebut tidak berdomisili di Kota Tegal.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]