"Kita mengabaikan para senior
pendahulunya. Bang Yos berhasil membangun dengan Busway/BRT TJ sejak 2003, Foke membentuk lembaga MRT 2008, Jokowi
yang membangun MRT 2013, lalu penataan stasiun-stasiun dan jalur
sepeda sejak 2014, sejak zaman Ahok, saya juga terlibat
pembahasannya," katanya.
Lalu, indikator
keberhasilan membangun transportasi juga harus menghitung, seberapa banyak masyarakat beralih ke transportasi publik.
Baca Juga:
PKS Ogah Jagokan Anies di Pilgub DKI, Ini 3 Alasannya
"Keberhasilan transportasi hanya satu indikatornya, berapa banyak pengguna kendaraan
pribadi shifting ke angkutan umum. Semisal, kalau
sekarang di Jakarta modal share
angkutan umum baru di bawah 20 persen, kalau meningkat 100 persen atau 2 kali dari exiting, bisa jadi 40 persen, bisa dikatakan berhasil penataan
transpotasinya. Kalau banyak membangun tapi belum ada yang gunakan, buat
apa?" katanya.
Di sisi lain, Deddy meragukan
kredibilitas TUMI. TUMI, kata Deddy, ternyata bukan lembaga internasional.
"Sebenarnya, kita cek dulu kredibilitas TUMI itu dulu. Saya lihat kriterianya
tidak tepat untuk penataan transportasi," imbuhnya.
Baca Juga:
Dicampakkan Partai Pengusungnya, Bagaimana Nasib Anies?
"TUMI, saya
pribadi baru tahu. Baru-baru
ini saja, setelah ada info penghargaan ini. Ternyata TUMI ada di Jerman, bukan
lembaga internasional, karena tidak punya anggota dari LSM dunia yang
independen. Lembaga dunia transportasi, NGO internasional, yang dikenal hanya IFRTD dan EASTS,"
timpalnya.
Meski begitu, Deddy tetap mengakui
kerja Anies Baswedan, terutama terkait pembangunan
integrasi antarmoda di Stasiun Tanah Abang dan Senen.
"Saya pikir, capaian Pak AB saat ini membangun koneksi fisik/integrasi
antarmoda di Stasiun Tanah Abang dan Senen. Tapi,
sebenarnya, yang (seharusnya) mendapatkan penghargaan adalah organisasinya, bisa Dishub atau Dinas PU-nya," pungkasnya. [dhn]