Kedua, muncul setelah adanya tekanan pihak pekerja. Terbitnya Kepgub 1395/2021 menuai banyak reaksi, khususnya pihak pekerja, yang menentang kenaikan UMP hanya 0,8 persen.
Sebelum dicabut, keberadaan Kepgub 1395/2021 telah sesuai dan selaras dengan pengupahan yang saat ini berlaku, baik perihal formula atau rumusan upah minimum, pola koordinasi dengan stakeholder, waktu penetapan maupun hal lainnya.
Baca Juga:
Buruh di Bekasi Unjuk Rasa Sambil Dorong Motor Tuntut Kenaikan Upah
Yang menarik adalah PP 36/2021 tidak memberikan ruang kepada kepala daerah untuk mencabut maupun melakukan perbaikan atas surat keputusan yang telah dikeluarkan dalam tahun berjalan.
Ketiga, Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP 36/2021 bukan menjadi dasar hukum penetapan UMP DKI Jakarta Tahun 2022. Dasar hukum penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2022 adalah:
1. Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
Baca Juga:
Anies Ancam Pengusaha yang Tak Naikkan UMP Jakarta 5,1 Persen
2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU 23/ 2014”).
Dua dasar hukum tersebut di atas apakah “memiliki kompetensi” dalam penetapan upah minimum suatu daerah? Tidak ada satu pun pasal dalam kedua UU tersebut yang mengatur detail mengenai upah minimum.
Menurut Penulis, tidak adanya PP 36/2021 dalam dasar hukum penetapan Kepgub 1517/ 2021 adalah kunci ketidakpastian yang terjadi.