DI tengah mahalnya harga kebutuhan pokok, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: beras yang mereka beli setiap hari ternyata tidak selalu sesuai dengan mutu dan takaran yang dijanjikan.
Fenomena ini merupakan hasilpraktik curang produsen besar yang dengan sadar mengoplos beras biasa ke dalam kemasan premium dan mengurangi berat isi bersih dari produk yang dijual.
Baca Juga:
Punya Rasio Pelanggan 98,45 Persen, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Survive Penuhi Kebutuhan Listrik Indonesia dengan Pendapatan Maksimal
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membeberkan bahwa beras-beras ini dikemas rapi dan dijual di minimarket hingga supermarket, seolah-olah premium, padahal isinya beras biasa.
Bahkan, beberapa produk yang mencantumkan label "5 kilogram" nyatanya hanya berisi 4,5 kilogram.
Selisih harga per kilogram yang bisa mencapai Rp2.000 sampai Rp3.000 adalah kerugian besar bagi konsumen.
Baca Juga:
Amran Sulaiman: Kecurangan Beras Sama Seperti Menjual Emas Palsu ke Rakyat
Data yang diungkap Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan setidaknya 212 merek beras tidak memenuhi standar mutu dan ketentuan label.
Praktik ini, jika dibiarkan, berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99 triliun setiap tahun. Angka fantastis yang mencerminkan lemahnya pengawasan sekaligus buruknya niat dari sebagian pelaku usaha.
Tak hanya merugikan dari sisi ekonomi, praktik pengoplosan ini juga mencederai kepercayaan publik. Konsumen merasa ditipu dan kehilangan pegangan terhadap produk yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar harian.
Apalagi, sebagian besar masyarakat tak punya kemampuan atau akses untuk menguji kebenaran informasi dalam label kemasan.
Dalam hal ini, negara harus hadir lebih tegas. Sudah terlalu lama pelaku curang di sektor pangan berlindung di balik celah regulasi dan lemahnya penegakan hukum.
Oleh karena itu, langkah Kementan melaporkan temuan ini kepada Kapolri dan Jaksa Agung patut diapresiasi. Namun, laporan saja tidak cukup. Harus ada proses hukum yang cepat, transparan, dan menghasilkan efek jera nyata.
Perlu ditegaskan, praktik mengoplos dan memalsukan label mutu atau berat beras merupakan pelanggaran terhadap Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Pasal 143 Jo Pasal 99 dan Pasal 144 Jo Pasal 100 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp2 miliar. Bukan hanya pelanggaran etika bisnis, ini merupakan tindak pidana yang menyangkut hak dasar konsumen dan keadilan ekonomi.
Masalah ini juga memperlihatkan betapa pentingnya transparansi informasi di sektor pangan, termasuk pelabelan yang jujur dan sertifikasi mutu yang bisa dilacak. Sebab di balik label indah dan kemasan modern, bisa tersembunyi praktik manipulatif yang hanya menguntungkan segelintir orang di balik rantai distribusi.
Konsumen Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi korban. Pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan konsumen dengan menggabungkan tiga hal: penegakan hukum yang kuat, pengawasan distribusi yang konsisten, dan edukasi publik yang merata.
Jika sistem ini berjalan, praktik-praktik kecurangan tidak akan semudah itu lolos dari pantauan.
Lebih dari itu, kita perlu memikirkan kembali model rantai pasok beras di Indonesia yang selama ini sangat panjang dan oligopolistik. Sebuah sistem di mana keuntungan besar dinikmati oleh distributor dan pedagang besar, sementara petani dan konsumen sama-sama dirugikan.
Reformasi struktur distribusi adalah keharusan jika kita ingin menciptakan ekosistem pangan yang adil dan berkelanjutan.
Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar soal berat beras yang kurang. Ini adalah masalah moral, integritas, dan hak publik atas pangan yang layak.
Jika negara tidak hadir membela konsumen dalam kasus sebesar ini, maka siapa lagi yang bisa mereka percaya? [*]
*] Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co