MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada Senin (24/2/2025) mengeluarkan keputusan yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Putusan ini menunjukkan adanya permasalahan serius dalam pengelolaan pemilu, mulai dari verifikasi administrasi yang lemah hingga dugaan keberpihakan terhadap calon tertentu.
Baca Juga:
Langgar Kode Etik, Empat Komisioner KPU Banjarbaru Dipecat DKPP
Fakta ini jadi tamparan bagi KPU RI yang seharusnya bertanggung jawab atas pengawasan dan pembinaan terhadap KPU di tingkat daerah.
Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan alarm keras atas buruknya sistem pengawasan internal KPU RI terhadap penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten dan kota.
Keteledoran ini tak bisa dibiarkan tanpa konsekuensi, terutama jika ditemukan unsur kesengajaan atau keberpihakan politik yang mengorbankan proses demokrasi.
Baca Juga:
PSU Terbanyak Sepanjang Sejarah, DPR Soroti Kinerja Penyelenggara Pemilu
Jika PSU hanya terjadi di satu atau dua daerah, mungkin masih bisa dianggap sebagai anomali. Namun, ketika jumlahnya mencapai 24 wilayah, jelas ada persoalan mendasar dalam tata kelola KPU, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini lebih dari sekedar kelalaian, dan menunjukkan adanya disfungsi struktural yang harus segera diperbaiki.
Banyak kasus PSU yang terjadi karena faktor yang sebenarnya bisa dicegah sejak awal, seperti ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebagai misal, PSU di Sumatera Barat terjadi akibat pengabaian putusan PTUN, sementara PSU di Dapil 6 Gorontalo disebabkan oleh lambannya eksekusi putusan MK.