Ini menunjukkan betapa lemahnya respons KPU dalam menegakkan aturan yang seharusnya menjadi pedoman utama mereka.
Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus di Kabupaten Boven Digoel, yakni ketika Mahkamah Konstitusi memerintahkan PSU tanpa mengikutsertakan calon bupati Petrus Ricolombus Omba.
Baca Juga:
Langgar Kode Etik, Empat Komisioner KPU Banjarbaru Dipecat DKPP
Ini terjadi setelah KPU setempat secara fatal meloloskan seorang calon yang seharusnya tidak memenuhi syarat karena pernah menjadi terpidana di Pengadilan Militer.
Fakta ini seharusnya bisa terdeteksi sejak awal, namun justru dibiarkan, hingga akhirnya merugikan banyak pihak dan berujung pada PSU yang membuang-buang anggaran negara.
Mengapa masalah ini terus berulang? Salah satu jawabannya adalah lemahnya pengawasan internal dan buruknya profesionalisme sebagian penyelenggara pemilu.
Baca Juga:
PSU Terbanyak Sepanjang Sejarah, DPR Soroti Kinerja Penyelenggara Pemilu
Seharusnya, sejak awal proses pencalonan, verifikasi administrasi dilakukan dengan ketat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kelalaian dan ketidaktegasan KPU membuka celah bagi praktik transaksional yang memungkinkan kandidat bermasalah tetap melenggang dalam kontestasi politik.
Lebih dari itu, kondisi ini memperkuat persepsi publik bahwa KPU tidak independen dan rawan intervensi. Jika penyelenggara pemilu memang benar-benar profesional dan tidak memiliki kepentingan politik, maka PSU yang masif seperti ini seharusnya tidak terjadi.
DPR seharusnya turun tangan dengan merekomendasikan sanksi bagi KPU yang terbukti melakukan pelanggaran serius, sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus segera menyidangkan kasus-kasus yang mencurigakan.