TEROR terhadap jurnalis kembali terjadi. Tempo, salah satu media yang dikenal dengan jurnalisme investigatifnya, mendapatkan ancaman brutal dan sarat pesan intimidasi.
Kiriman kepala babi tanpa telinga, paket berisi enam tikus mati dengan kepala terpotong, serta aksi doxing terhadap jurnalisnya merupakan upaya terang-terangan untuk menekan kebebasan pers.
Baca Juga:
Pergerakan Advokat Kutuk Teror Kepala Babi ke Jurnalis Tempo
Ini bukan sekadar intimidasi biasa, tetapi bentuk eskalasi teror yang harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak yang peduli terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menegaskan bahwa media ini takkan gentar menghadapi segala bentuk ancaman.
Mereka tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalistik dan telah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.
Baca Juga:
Istana: Insiden Tempo Jangan Dibesarkan Agar Tak Puaskan Peneror
Namun, sejarah penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan: minimnya penyelesaian dan lemahnya komitmen aparat dalam melindungi kebebasan pers.
Simbol Teror dan Pesan yang Disampaikan
Mengapa harus kepala babi tanpa telinga? Babi sering diasosiasikan dengan hal-hal negatif dalam berbagai budaya, seperti ketidaksucian dan keburukan.
Kepala babi tanpa telinga dapat dimaknai sebagai peringatan bagi jurnalis untuk tidak mendengar atau menyebarkan informasi yang dianggap merugikan pihak tertentu.
Dalam pesan ini, pelaku teror ingin menunjukkan kekuasaannya atas informasi dan menanamkan ketakutan pada targetnya.
Ironisnya, justru teror semacam ini membuktikan bahwa pelaku merasa terancam oleh keberanian para jurnalis yang bekerja untuk mengungkap kebenaran.
Fenomena Kekerasan terhadap Jurnalis
Kasus Tempo bukanlah satu-satunya dalam catatan kelam kebebasan pers di Indonesia. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyebut bahwa pada 2025 saja sudah terjadi 22 kasus teror dan intimidasi terhadap jurnalis, termasuk kasus di Tempo.
Tahun sebelumnya, AJI mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tetapi hanya satu yang mendapatkan keputusan inkrah, itu pun sebagai tindak pidana ringan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa laporan terhadap aparat sering kali tidak berujung pada penyelesaian yang memadai.
Ketidakseriusan dalam menangani kasus semacam ini menciptakan preseden buruk: para pelaku semakin berani melakukan teror karena merasa kebal hukum, sementara para jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik justru dipaksa menghadapi risiko besar tanpa perlindungan yang memadai.
Penegakan Hukum yang Lemah
Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa jurnalis yang bebas dari ancaman, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang kredibel dan kritis terhadap kekuasaan.
Peristiwa teror dan upaya pembungkaman terhadap media merupakan indikasi nyata bahwa demokrasi sedang digerogoti dari akarnya.
Dari sisi hukum, Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan jelas mengatur bahwa setiap tindakan yang menghalang-halangi kerja jurnalistik adalah pelanggaran hukum.
Namun, penegakan hukum yang lemah membuat regulasi ini tidak cukup untuk melindungi jurnalis di lapangan.
Ujian Bagi Demokrasi
Teror semacam ini tak boleh dibiarkan berlalu tanpa konsekuensi. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dalam mengusut kasus ini dengan mengidentifikasi dan menangkap pelaku serta dalangnya.
Pemerintah juga perlu menunjukkan keberpihakannya pada kebebasan pers dengan memperkuat perlindungan terhadap jurnalis dan mendorong dikenakannya sanksi berat bagi pelaku kekerasan.
Di sisi lain, solidaritas jurnalis dan masyarakat sipil perlu diperkuat untuk melawan segala bentuk intimidasi terhadap pers.
Media harus tetap bersatu dan tidak tunduk pada tekanan, sebab jika satu media diteror tanpa ada reaksi kuat, maka ancaman terhadap media lain hanya tinggal menunggu waktu.
Teror terhadap Tempo adalah ujian bagi demokrasi kita. Jika ini dibiarkan, maka kita sedang membuka pintu bagi represi yang lebih luas terhadap kebebasan berpendapat.
Inilah saatnya kita menunjukkan bahwa pers tidak bisa dibungkam, dan kebenaran tidak akan pernah kalah oleh ketakutan.
Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co