WahanaNews.co | Ada tiga dosa besar yang terus disorot dalam lingkungan pendidikan Indonesia yaitu kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim terus melakukan upaya agar tiga dosa besar ini benar-benar tidak ada lagi.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Pada Januari-Februari 2023 saja, berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sudah ada 14 kasus kekerasan seksual yang seluruhnya tengah dalam proses kepolisian saat ini.
Serta, 6 kasus tindak perundungan, baik di sekolah umum maupun sekolah-sekolah berbasis agama, salah satunya ialah kasus santri Ponpes Al Berr Pasuruan berusia 13 tahun yang diduga dibakar oleh seniornya.
Korban mengalami luka bakar serius hingga harus mendapat perawatan.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Namun, selama 19 hari, kondisi santri berinisial INF ini tak kunjung membaik dan meninggal dunia di RSUD Sidoarjo pada 19 Januari 2023.
Lalu, kasus murid SD di Banyuwangi berinisial MR yang tewas gantung diri. MR kabarnya tak kuat menahan beban psikologi akibat kerap mendapat perundungan dari teman-teman sekolahnya karena tak punya ayah. Ayah MR telah meninggal dunia satu tahun lalu.
Serta, kasus pelajar SMK di Samarinda yang mengancam guru olahraganya dengan parang hanya karena tak terima ditegur.
Tak hanya oleh pelajar, perilaku kekerasan juga ditunjukkan oleh guru.
Seperti kasus Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Islam Gresik yang menampar belasan siswi hingga empat di antaranya mengalami pingsan.
Penyebabnya sepele hanya karena para siswi jajan di luar kantin sekolah.
Guru di SMK Muhammadiyah Banyuresmi, Garut bahkan lebih parah lagi. Setelah menampar, guru ini pun memerintahkan para murid untuk ikut menampar temannya yang merokok di dalam kelas.
Meski sudah saling memaafkan, tetapi tindakan kekerasan guru tersebut harus mendapat koreksi dan sanksi.
Bila tidak, kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti itu sama saja sekolah atau guru melegalkan kekerasan di lingkungan pendidikan. Bertolak belakang dengan upaya Kemendikbud Ristek menghapus tiga dosa besar.
“Sekolah bilang sudah ada kesepakatan antara guru dan murid untuk setiap pelanggaran terhadap aturan sekolah. Satu kali salah dapat teguran, dua kali diberi surat peringatan, jika sudah tiga kali murid lain juga akan ikut menghukum. Apa iya begitu?” kata Retno disadur dari VOI, Senin (6/3/2023).
“Pelanggaran tata tertib sekolah ditangani oleh bidang kesiswaan bukan masing-masing guru membuat hukum sendiri dan mengeksekusi sendiri. Hukumannya menampar wajah pula, sudah enggak benar,” lanjutnya.
Sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Juga, bagi sekolah tempat guru tersebut berada. Kekerasan, kata Retno, tidak boleh dilakukan di lingkungan pendidikan dengan dalih mendisplinkan sekalipun.
Menyalahi aturan dan melanggar hukum. Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
“Bila kekerasan diabaikan, bagaimana program Kemendikbud Ristek menghapus tiga dosa besar di institusi pendidikan dapat berjalan efektif. Lagipula, selama masih ada kekerasan, saya rasa kita mustahil bicara kualitas pendidikan,” tuturnya.
Retno mengakui memang butuh upaya panjang mewujudkan lingkungan pendidikan terbebas dari tiga dosa besar: perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Kemendikbud Ristek tidak bisa berjalan sendiri tetapi butuh lembaga-lembaga lain, termasuk keluarga.
Sebab faktor terbesar penyebab perundungan adalah pola asuh. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan, tentu memiliki luka batin.
Dia akan mencari cara melampiaskan kemarahan kepada teman-temannya yang lebih lemah, baik di sekolah ataupun di lingkungannya.
“Bila orangtua mendidik dengan menanamkan cinta kasih, moral, selalu mengajak anak untuk menghargai orang lain, anak tidak akan egois, dan tidak akan selalu merasa dominan,” katanya.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rose Mini Agoes Salim pun berpendapat sama. Moral adalah faktor terpenting dari pola asuh. Namun, moral tidak bisa tumbuh dengan baik tanpa ada stimulasi.
Contohnya anak yang tinggal di keluarga pencuri. Anak akan menganggap mencuri itu adalah hal biasa, karena memang kemampuan moralnya untuk menganggap mencuri adalah perbuatan buruk tidak terasah.
“Begitupun sikap anarkis. Orang yang tumbuh di lingkungan anarkis, juga cenderung menganggap anarkis itu tindakan biasa. Sehingga, kalau memang sejak dini ditanamkan sikap anarkis adalah perbuatan buruk, anak kemungkinan besar tidak akan melakukan itu,” ucap Rose.
Memang tidak mudah mengubah budaya yang ada di lingkungan pendidikan Indonesia selama ini.
Tentu membutuhkan waktu panjang. Kendati begitu, Kemendikbudristek paling tidak sudah mengakui dan telah merancang sistem untuk menghapus dosa-dosa tersebut
“Sudah ada Pokja, pencegahan dilakukan oleh Pusat Pendidikan Karakter sedangkan penanganan oleh Itjen Kemendikbud Ristek. Prosesnya bukan seperti pemadam kebakaran, ada kasus datang padamkan. Kita bangun budaya, bangun sistem agar pelaku atau korban dapat ditangani dengan baik dan sesuai aturan,” ucap Retno.
Kemendikbud Ristek telah menerbitkan regulasi tentang penanggulangan kekerasan di sekolah dalam bentuk Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
Permendikbud ini mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan untuk menghadirkan rasa aman pada peserta didik khususnya di lingkungan sekolah sebagai rumah kedua yang bebas dari tindak kekerasan. [Tio]