A. Khoirul Umam, dalam pengantar moderasinya mengungkapkan bahwa muktamar ini adalah kesempatan berharga untuk melacak kembali dan mengkontektualisasikan pemikiran cak nur di tengah tantangan bangsa yang semakin kompleks saat ini.
"Beliau adalah man of ideas, man of ethics sekaligus man of actions. Cak Nur menggabungkan itu semua kemudian menghadirkan pemikiran yang spektrumnya melampaui batas-batas keilmuan. Memiliki pengaruh dalam konteks sosial, politik budaya dan demokrasi di indonesia."
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Sekjen PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu'ti memaparkan bahwa dalam tulisan-tulisan Cak Nur berbicara tentang masyarakat yang egalitarian atau masyarakat yang di situ kesamaan dan kesetaraan antar manusia itu menjadi misi penting dari ajaran agama Islam.
"Cak Nur menjelaskan tauhid sebagai pondasi untuk membangun inklusivisme. Ia menjelaskan dengan akar pemikiran menarik, tauhid itu membawa pesan liberasi kemanusian dan transendensi dalam berbagai aspek kehidupan dan bagaimana itu menjadi fondasi membangun masyarakat madani dan egalitarian." Imbuhnya
Dalam paparan Wakil Ketua PB NU, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan kekhawatirannya terkait tantangan bagaimana mengkomunikasikan gagasan pemikiran Cak Nur dengan generasi sekarang.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
"Pemikiran tokoh seperti Cak Nur dan generasinya Gus Dur, Buya Syafi'i Ma'arif, Dawam Rahardjo, Johan Effendi, Jalaludin Rahmat apakah dibaca dan dipahami generasi baru? Bagi generasi baru tulisannya terasa asing."
Ulil membeberkan latar belakang yang membentuk pemikiran Cak Nur.
"Cak Nur itu mengagumi kota Madinah zaman nabi, sebagai lambang dari kehidupan plural dan multikultural. Kemudian Indonesia, karena ada bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional yang egaliter. Yang terakhir Amerika, negara yang dibangun kaum imigran dari berbagai tempat beragam sebagai melting pot panci peleburan unsur beragam yang melebur menjadi bangsa baru."