Sejak berumur sepuluh tahun, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan.
Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Baca Juga:
Bimtek Fraksi PDI Perjuangan, Ono Surono Tegaskan Program Kerakyatan Harus Jadi Prioritas Utama dalam APBD 2026
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Beranjak remaja, semakin ingin mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama.
Namun, kondisi adat saat itu telah mengekang kaum wanita sehingga membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir.
Baca Juga:
Perkuat Konektivitas, Wings Air Kembali Terbang dari Bandung Mulai 20–21 Desember 2025
Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tepat pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya ada tiga orang yakni Dewi Sartika dan dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.