Namun, masih ada kesenjangan digita yang menjadi salah satu alasan sekolah-sekolah di Amerika cenderung menggunakan buku teks cetak dan digital, kata Sean Ryan, presiden divisi sekolah AS di penerbit buku teks McGraw Hill.
“Di tempat-tempat yang tidak memiliki konektivitas di rumah, para pendidik enggan menggunakan teknologi digital karena mereka memikirkan kelompok yang paling rentan (siswa) dan memastikan mereka memiliki akses yang sama terhadap pendidikan seperti orang lain,” kata Ryan.
Sedangkan Jerman, yang merupakan salah satu negara terkaya di Eropa, terkenal lamban menyebarkan program pemerintah dan segala jenis informasi secara online, termasuk pendidikan. Kondisi digitalisasi di sekolah juga berbeda-beda di 16 negara bagian, yang bertanggung jawab atas kurikulumnya masing-masing.
Banyak siswa dapat menyelesaikan sekolah mereka tanpa instruksi digital apa pun yang diperlukan, seperti coding. Beberapa orang tua khawatir anak-anak mereka mungkin tidak mampu bersaing di pasar kerja dengan generasi muda yang lebih terlatih secara teknologi dari negara lain.
Sascha Lobo, seorang penulis dan konsultan Jerman yang berfokus pada internet, berpendapat upaya nasional diperlukan untuk meningkatkan kecepatan pelajar Jerman atau negara tersebut akan berisiko tertinggal di masa depan.
“Jika kita tidak berhasil menjadikan pendidikan digital, mempelajari cara kerja digitalisasi, maka kita tidak akan lagi menjadi negara makmur 20 tahun dari sekarang,” kata Sascha.
Adapun untuk mengatasi penurunan kinerja membaca di kelas 4 SD di Swedia, pemerintah Swedia mengumumkan investasi senilai 685 juta kronor (60 juta euro atau USD64,7 juta) dalam pembelian buku untuk sekolah-sekolah di negara tersebut tahun ini. Sementara itu, 500 juta kronor lainnya akan dibelanjakan setiap tahun pada 2024 dan 2025 untuk mempercepat pengembalian buku pelajaran ke sekolah.
Tidak semua pakar yakin upaya kembali ke dasar yang dilakukan Swedia semata-mata bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi siswa. Seorang profesor pendidikan di Monash University di Melbourne, Australia, Neil Selwyn, menilai mengkritik dampak teknologi adalah langkah populer di kalangan politisi konservatif.
“Ini adalah cara yang tepat untuk mengatakan atau menandakan komitmen terhadap nilai-nilai tradisional," ujar dia.
“Pemerintah Swedia mempunyai alasan yang sahih ketika mengatakan tidak ada bukti teknologi dapat meningkatkan pembelajaran, namun menurut saya hal tersebut terjadi karena tidak ada bukti langsung mengenai apa yang berhasil dengan teknologi tersebut,” ujar Selwyn.
“Teknologi hanyalah salah satu bagian dari jaringan faktor pendidikan yang sangat kompleks,” tutup dia lagi.
[Redaktur: Zahara Sitio]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.