"Kampanye itu tidak harus pakai model lama yang konvensional. Dia bisa berdebat, berdiskusi, membahas topik-topik tertentu secara tematik. Itu yang sebetulnya melandasi, maka kuncinya adalah bagaimana membuat politik dan pemilu itu tidak menakutkan," jelas Arie.
Debat yang digelar di kampus, kata Arie, juga dapat menutup peluang masing-masing kandidat menggunakan data hoaks untuk berkampanye.
Baca Juga:
Pakar UGM Angkat Suara Soal Kantong Teh Celup Disebut Lepaskan Miliaran Mikro Plastik
Melalui sarana itu pula, publik dapat menilai kandidat mana yang memiliki komitmen, rekam jejak, serta bagaimana cara menjawab atau merespons setiap persoalan.
"Orang kalau mengumpat kan ketahuan oh ini hoaks, jangan nunggu Bawaslu melaporkan publik sudah tahu, karena ukurannya bukan soal pasal tapi ukurannya adalah etik. Jadi membawa pemilu itu ke dalam etika publik, membawa pemilu menjadi milik publik, bukan hanya miliknya KPU, Bawaslu, dan Parpol," ujar dia.
Dalam impelementasi-nya, menurut Arie, perguruan tinggi kelak perlu menyepakati aturan misalnya formatnya dalam bentuk dialog atau debat dengan tanpa disertai adanya alat peraga kampanye serta disiarkan secara langsung melalui media sosial masing-masing kampus.
Baca Juga:
KPK Tak Terima Julukan Disebut Lebih Mirip 'Polsek Kuningan'
Selain itu, perlu pula mengundang penyelenggara pemilu KPU serta Bawaslu dalam setiap gelaran kampanye yang dikemas dalam bentuk debat atau dialog tersebut.
"Tidak usah pakai alat peraga yang menciptakan sentimen yang berlebihan, kemudian jangan hanya dengan jargon-jargon, ngomong teriak-teriak begitu tapi bicara soal tematik tertentu soal energi, soal pangan, soal pendidikan, soal integrasi nasional, soal teknologi atau lainnya," jelas dia.
Sebelumnya, putusan Majelis Hakim MK nomor 65/PUU-XXI/2023, pada Selasa (15/8/) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) namun sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.